Senin, 23 November 2009

Dari Road Show to Campuss Kiai Kanjeng di UMK (2)


Indonesia sebagai Negara Besar

UMK-Cak Nun terlihat begitu serius ketika berbicara soal kebudayaan. Lebih-lebih saat mengupas UMK yang bercita-cita sebagai culture university (Universitas Kebudayaan). Menurut Cak Nun, budaya adalah sesuatu yang netral. Karena kebudayaan bukan merupakan sebuah produksi ataupun reproduksi, tetapi budaya adalah sebuah kreasi yang tak akan pernah habis.

Cak Nun menilai sebuah terobosan baru jika UMK mendeklarasikan diri sebagai Universitas Kebudayaan. Sebab, pendidikan adalah sebuah reproduksi. Artinya lahir dari sebuah hasil produksi. "Tapi harus diingat bahwa lulusan perguruan tinggi bukanlah reproduksi. Opo ono yen ono lulusan perguruan tinggine dadi koruptor, ditangkep, gelar sarjane dicopot? Ora toh?," jelasnya dalam Bahasa Jawa khas Jawa Timuran. Untuk itu, kepada mahasiswa, Cak Nun berpesan agar selalu memakai otaknya.

 


Cak Nun ingin berpesan agar kita tidak terjebak dalam budaya neoliberalisme. Di mana, semua tak selalu harus dijual dan ditarifkan. Menurutnya, ada empat hal yang tak bisa dijual, yakni pendidikan, kebudayaan, agama, dan kesehatan. 

Menurut Cak Nun pendidikan harus difungsikan untuk mencerdaskan, sehingga tidak perlu dikomersilkan seperti saat ini. Demikian juga kebudayaan, adalah sesuatu yang netral, tidak bisa dijual. Apalagi agama, tegas Cak Nun, ini urusan dengan Tuhan. "Yen saiki ono dai pasang tarif, iki aneh," sindir Cak Nun. 

Meskipun Cak Nun selalu kritis terhadap para pemimpin bangsa ini, sebetulnya dia adalah sosok yang begitu cinta terhadap Indonesia. Cak Nun selalu memuji-muji kebesaran nikmat yang diberikan kepada bangsa ini. "Di sini (kampus UMK) adalah bagian dari mutiara-mutiara yang terpendam. Dan ini adalah bagian kecil dari mutiara-mutiara yang tersebar di negara ini.


Potensi Indonesia sebagai negara besar sudah terlihat sejak zaman kerajaan. Peradaban Indonesia terbangun dari kerajaan-kerjaan yang muncul dari pesisir. Di mana, dulu rakyat ini begitu patuh pada Walisongo, yang terpusat di Demak. "Ketika era Soeharto, kiblat masyarakat pada Nyi Roro Kidul. Nah, saiki, zamannya ndak jelas," ungkap Cak Nun.

Cak Nun kemudian mengungkapkan betapa hebatnya anak-anak negeri ini. "Kurang opo ayo, kompetisi matematika, fisika, kimia, pelajar Indonesia selalu menjadi juara. Nek ora hebat, yo ora iso juara," tambah Cak Nun.
"Saiki sing nyiptake sayap pesawat dan kini didadekno rujukan Boeing dan lain-lain, yo anak bangsa, Pak Habibie," imbuhnya.

Ceramah Cak Nun bersama Kiai Kanjengnya siang itu semakin menyedot perhatian saat Cak Nun menghadirkan Capeng Gunung, yang tak lain adalah kiai Budi Haryono. Tak mau kalah dengan Cak Nun, pria yang memiliki anak sembilan ini, bahkan hadir bersama anak nomor limanya, yang begitu mahir menirukan adzan ala Arab. Tak segan-segan, Kiai Budi langsung mendaulat anaknya itu untuk menunjukkan kebolehannya. Begitu adzan dikumandangkan dari mulut bocah berusia sekitar 10 tahun itu, para mahasiswa terlihat tertegun dengan kebolehan anak tersebut. 

Tapi sayang, Kiai Budi tak melanjutkan kebolehan anaknya tersebut untuk tampil lebih lama. Dia justru lebih banyak bersyair dan memberikan "ceramah" ala Cak Nun, banyak guyonannya. Dalam ceramahnya ini, Kiai Budi yang memakai caping khas pegunungan, juga mampu memberikan pencerahan kepada para yang hadir. Kiai Budi lebih menekankan pada hakikat manusia. Di mana, sebagai manusia yang memiliki otak (berpikir) semestinya kita tidak boleh melihat sesuatu hanya dari kulitnya (luar) saja, tetapi juga perilakunya. "Secara fisik oke, tapi ojo terkecoh. Ayu urung mesti apik atine. Mangkane semuanya harus dilihat secara utuh," jelasnya dalam dialeg Jawa campur Bahasa Indonesia.

Kiai Budi menyampaikan pesan bahwa pencitraan tak penting. Yang penting adalah bagaimana problem sosial masyarakat yang muncul ini segera diatasi dengan cepat.(Hoery/Miun-Portal)


 
//ahmad.el.syarif//fkip//pbi//
sumber : www.UMK.ac.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar