Sabtu, 24 Oktober 2009

Bisakah “kritis” itu dijaga di atas “kursi” ?????



UMK.kudus. ini merupakan sebuah refleksi yang sebagaimana telah terjdi dalam kehidupan demokrasi bernegara yang nyata di Negara kita. Terhitung ratusan bahkan ribuan orang yang berlagak kritis di masa sebelum Berjaya di atas kursi menjadi melempem saat telah mendapatkan jabatan di atas kursi. Kita banyak menemukan para pengamat politik,pengamat ekonomi dan analis-analis yang begitu menggema-gema menggembar-gemborkan kekritisan dengan segudang analisa-analisa yang begitu menarik dirasakan,mengatas namakan keadilan dan lain sebagainya. Namun,saat mereka telah mendapatkan sebuah posisi yang cukup enak dalam sebuah jabatan,entah mengapa kekritisan itu nampaknya sudah ditelan bumi tanpa rimba. Apa yang terjadi? Apakah seorang yang telah mendapatkan sebuah jabatan dilarang untuk Kritis? Kenapa cenderung diam? Mengamankan posisi?. Inilah kenyataan yang terjadi di Indonesia. Banggalah kiranya jika kita segenapnya menyaksikan begitu banykanya aktivis-aktivis mahasiswa melakukan aksi-aksi yang mereka atasnamakan Kekritisan dan intelektualitas. Aksi-aksi ini pun dilakukan dengan berbagai macam cara,dengan memamerkan kelihaiannya berorasi,diskusi debat dan lain sebagainya. Tetapi pertanyaannya tetap sama,"Apakah mereka sanggup menjaga kekritisan mereka di atas kursi setelah mereka mendapatkan posisi?". Mahasiswa merupakan generasi penerus yang memiliki modal paling mumpuni dalam melanjutkan tata demokrasi dan reformasi yang didengung-dengungkan para pemimpin kita. Kenapa? Karena mahasiswa memang dibentuk untuk menjadi manusia intelektual dengan segudang pengetahuan dan pengembangan dirinya,dan yang lebih penting adalah bahwa mahasiswa merupakan kelompok massa yang paling bersih dari pengaruh-pengaruh politik dari berbagai macam pihak. Di dalam lingkungan kampus tak hanya memberikan sebuah lingkungan akademis belaka,namun juga terdapat sentuhan politik yang ada di dalamnya utamanya yang berkaitan dengan tata birokrasi bagi para mahasiswa,dalam hal ini dapat dicontohkan dengan adanya BEM baik di lingkup Fakultas maupun Lingkup Universitas. Bisa dikatakan BEM sebagai media untuk belajar berpolitik bagi para mahasiswa,meskipun bisa dikatakan sebagai politisi pemula. Tentu,ini merupakan kemajuan yang baik,artinya dapat semakin memberikan modal lebih kepada mahasiswa untuk turut serta melanjutkan tata demokrasi yanag ada,tetapi kekhawatiran penulis pun tetap sama,mampukah mereka bersikap kritis sama halnya ketika mereka bersikap kritis saat sebelum mendapatkan sebuah posisi? Di sisi lain contoh yang diberikan oleh orang-orang yang telah mendapatkan posisi meskipun tidak sebanding dengan posisi yang didapat mahasiswa justru berkebalikan dengan harapan. Cenderung diam mahasiswa/I yang telah mendapatkan posisi kursi itu dan cenderung mengikuti arus. Inilah kenyataannya. Kenapa tidak mulai kita belajar dengan adanya sebuah Pemerintahan dengan Oposisi yang begitu sama kuatnya dengan eksekutif ? sehingga kekritisan itu akan tetap terjaga dan tidak hilang karena arus kekuasaan pimpinan? Ternyata inilah yang menjadi pokok persoalan. Mampu atau tidak menjaga sebuah nilai kekritisan adalah tergantung pada pribadi masing-masing,jika ingin benar-benar memperjuangkan seperti apa yang dulunya diteriakkan sebelum terpilih di atas kursi,maka tetaplah Kritis karena posisi hanyalah sebuah posisi,justru jika kita bisa mengkritisi segala sesuatu meski kita berada di atas kursi kita akan menjadi sebuah contoh orang yang berani,seorang yang pasti akan memiliki nama baik yang tidak akan ikut tercemar dengan cemoohan orang,"halah paling ikut arus" semacam itu. Jangan Takut dan mari kita belajar dari apa yang sudah ada di Depan Kita. Tetaplah Kritis dan Mengkritisi,karena itulah sebenarnya cara yang benar dalam berjuang dan memperjuangkan.

//ahmad.el.syarif//fkip//pbi//

Tidak ada komentar:

Posting Komentar