Minggu, 11 Januari 2009

tugas eip

VIRGINIA WOOLF: NOVELIS YANG MENAHAN DERITA DENGAN MENULIS
Oleh: M. Iqbal

Dalam sastra Barat nama Virginia Woolf sudah tak asing lagi. Ia merupakan sastrawan Inggris yang karya-karyanya disejajarkan dengan sastrawan lainnya seperti William Shakespeare, T.S. Elliot, Charles Dickens, atau George Orwel. Namun, di telinga kita nama tersebut memang masih asing, tak sepopuler yang lainnya, seperti halnya william Shakespeare dengan Romeo and Juliet-nya. Mungkin saja dikarenakan karyanya tak lazim dengan selera pembaca Indonesia. Karya-karya Virginia masih sangat jarang untuk diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Memang, karyanya tergolong tak seperti halnya pengarang lainnya. Ia sering membuat karya dengan gaya yang berbeda dengan kebanyakan sastrawan lainnya.

Virginia mengidap penyakit kejiwaan yang amat sangat menyiksa hidupnya. Namun ia masih terus menulis, dan menjadikan obat bagi penyakitnya itu. Seolah-olah derita telah tertahankan saat ia merangkai dunia imajinasinya, walau pada akhirnya ia mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.

Nama lengkapnya adalah Adeline Virginia Woolf, dilahirkan di London pada tahun 1882 dari pasangan Leslie dan Julia Stephen. Ayahnya adalah seorang redaktur Cornhill Magazine dan penyunting Dictionary of National Biography. Bakat menulisnya tertular dari ayahnya. Ia hanya belajar membaca dan menulis dari orangtuanya, dan tak pernah merasakan bangku sekolah. Ia banyak menghabiskan waktunya di perpustakaan yang letaknya di dalam rumahnya sendiri.

Bimbingan orangtuanya serta semangat belajarnya membuat bakat kepenulisannya cepat berkembang. Semakin lama semakin terasah pula insting menulisnya yang pada akhirnya ia mengabdikan hidupnya untuk menulis. Setelah menikah, ia bersama suaminya membuat penerbit Hogarth Press. Selain menerbitkan karya-karyanya ia juga menerbitkan pengarang lainnya yang terkenal seperti puisi T.S. Elliot.

Dalam penulisan karya sastranya, ia memperkenalkan corak yang tak lazim dilakukan oleh sastrawan lainnya. Ia telah mengembangkan temuannya William James dalam gaya penceritaan yaitu yang dikenal dengan istilah arus kesadaran (stream of consciosness) atau juga dikenal dengan dialog batin, di mana teknik tersebut akan menghasilkan efek yang berbeda di mata pembacanya. Efek dari teknik tersebut adalah seperti yang dituturkan oleh Kurniasih dalam pengantar novel Mrs. Dalloway karya Virginia, “Meski di satu sisi cerita itu terkesan sangat 'dingin', karena minimnya dialog langsung di antara para tokohnya, tetapi pembaca akan menyadari sebuah kenyataan yang tak bisa disangkal karena kelazimannya. Yaitu, kenyataan tentang kesendirian manusia. Kesendirian di sini bukan berarti tanpa keberadaan orang lain, tetapi tentang kondisi ketika manusia pada dasarnya sibuk dengan dirinya sendiri, sebuk dengan kerumitan pikiran dan kecamuk perasaannya sendiri. Pembaca seakan tengah mendengarkan keluhan-keluhan langsung dari orang yang hatinya sedang cemas. Di dalam hatinya seperti tengah terjadi konflik yang luar biasa rumit.”

Selain kegiatan menulis, ia juga pejuang hak asasi perempuan. Ia seorang feminis yang memperjuangkan hak-hak perempuan pada masa itu yang dianggap telah dirugikan kedudukannya. Kedudukannya amat berpengaruh lantaran ide-ide feminisnya yang bisa membuat merah telinga orang yang mendengarnya.

Gangguan jiwa yang dialaminya semenjak remaja semakin hari semakin parah. Mulai dari anorexia (tidak bernafsu makan), sakit kepala, depresi, hypermania (perasaan gembira berlebihan), hingga kehilangan kesadaran akan realitas membuat hidupnya semakin tak bergairah. Menurut para peneliti, badan Virginia adalah badan yang sakit. Keadaan seperti itu mendorong ia mencoba untuk melakukan bunuh diri, tapi selalu saja gagal.

Untunglah ia menulis. Menulis adalah semacam cara untuk menyembuhkan penyakitnya tersebut. Segala perasaan yang dialaminya ia tuangkan ke dalam karyanya. Maka tak heran jika karya-karyanya sering menggambarkan tentang keadaan dan perasaan yang dimilikinya. Lewat karyanya, ia membuat dunia ciptaannya di mana ia bisa tinggal, sesuai dengan kehendaknya, dan ia merasa nyaman di dalamnya. Namun setelah merampungkan ceritanya sering terjadi dualisme dalam dirinya, yaitu antara rasa plong dan menderita kembali seperti ketika sebelum ia menuliskan cerita tersebut.

Bagai seorang ibu, setiap kali melahirkan tulisannya ia merasa senang sekaligus merasa kehilangan sesuatu setelah diterbitkan karyanya itu. Namun setidaknya dengan menulis ia bisa menghilangkan tekanan jiwanya itu, walau pada akhirnya ia berhasil bunuh diri, lantaran penyakitnya yang sudah akut. Tapi, seandainya tidak karena menulis boleh jadi peristiwa tersebut akan terjadi sedini mungkin. Menulis, bisa dikatakan, adalah penyelamat hidupnya, yang ikut memperlambat proses percobaan bunuh dirinya tersebut.

Virginia bukan hanya menulis novel dan cerpen saja, tetapi ia juga menulis catatan harian, biografi, dan esai-esai tentang hak asasi perempuan. Di antara karya-karyanya ialah The Voyage Out (1915) dan Night and Day (1919), Mondays or Tuesday (1921), Jacob's (1927) dan The Waves (1931), Mrs. Dalloway, dan masih banyak lagi karya yang lainnya.[miq]

FILM The Hours dibuka dengan adegan tangan yang menulis beberapa kalimat dalam sepucuk surat. ''... Aku merasa bakal gila kembali. Aku rasa kita tak akan bisa menjalani sekali lagi masa-masa yang sulit itu... tapi engkau, Leonard, telah memberiku kebahagiaan terbesar yang mungkin diraih....'' Begitu kata-kata yang tertulis dalam surat yang diniatkan sebagai catatan bunuh diri itu.

Kalimat itu adalah isi surat yang ditulis Virginia Woolf kepada Leonard Woolf, suaminya. The Hours, yang digarap Stephen Daldry (sutradara Billy Eliot), memang menceritakan kisah hidup novelis perempuan terkemuka ini. Tapi, film ini tak melulu mengenai hidup Virginia Woolf.

Dengan struktur naratif yang kompleks, The Hours menuturkan kisah tiga wanita yang hidup di tiga tempat dalam tiga kurun waktu berbeda. Secara tematis, kisah tiga wanita ini terkait. Yang paling kuat mengikat mereka adalah novel Mrs. Dalloway, karya keempat Virginia Woolf. Hampir semua hal penting dalam The Hours berhubungan dengan novel itu.

Segmen pertama dari tiga kisah ini berlangsung pada 1923, hari di mana Woolf (Nicole Kidman) mulai memindahkan cerita Mrs. Dalloway dari benaknya ke atas kertas. Episode kedua terjadi di Los Angeles pada 1951, mengenai Laura Brown (Julianne Moore), ibu rumah tangga yang tertekan dan kesepian. Laura menemukan hal baru mengenai diri dan hidupnya setelah membaca Mrs. Dalloway.

Kisah ketiga terjadi di New York, 2001. Saat itu, Clarissa Vaughn (Meryl Streep), yang kerap dipanggil dengan sebutan Mrs. Dalloway, tengah menyiapkan pesta untuk Richard (Ed Harris), penyair sahabatnya yang sekarat --persis plot dalam novel Mrs. Dalloway.

The Hours merupakan adaptasi dari novel pemenang Pulitzer berjudul sama karya Michael Cunningham. Dalam novelnya, Cunningham membuat Mrs. Dalloway menjadi titik pijak tiga cerita. Ia dengan brilyan menjadikan novelnya sebagai penceritaan kembali karya dan kehidupan Virginia Woolf tanpa terjebak menjadi pengulangan ataupun kehilangan orisinalitas.

Untuk menunjukkan alasan mengapa hidup Virginia Woolf heroik dan berarti, Cunningham punya terobosan jenial. Ia membangun tiga kisah dalam bingkai perbedaan waktu. Dalam novelnya, Cunningham memperlihatkan bagaimana kuatnya Woolf, novelis feminis ini, mendedikasikan diri pada karyanya, meski harus berperang dengan penyakit. Juga bagaimana Woolf berayun di antara mood gembira penuh ketertarikan pada hidup, dan jebakan kedalaman ngarai depresi keputusasaan.

Ketiga kisah dalam The Hours hanya berlangsung dalam waktu satu hari (sebagaimana kisah dalam Mrs. Dalloway-nya Virginia Woolf). Bunuh diri (atau keinginan bunuh diri) muncul dalam setiap segmen cerita. Atmosfer lesbian juga melimpah dalam film The Hours. Ada tiga ciuman antarperempuan sepanjang film ini: antara Virginia Woolf dan Vanessa, saudara perempuannya, antara Laura dan tetangganya, juga antara Clarissa dan partnernya.

Clarissa malah secara terbuka digambarkan sebagai lesbian, dan berada dalam hubungan cinta yang langgeng dengan Sally (Alison Janney). Namun, di luar kerumitan tiga cerita ini, pertanyaan-pertanyaan khas Virginia Woolf menggema sepanjang film: apa sebenarnya makna ''kesenangan-kesenangan sederhana dalam hidup''? Dapatkah momen-momen luar biasa menjadi penawar penantian panjang yang membosankan dan menakutkan sepanjang ribuan jam --The Hours-- menjelang kematian?


Lalu, apakah kegiatan seperti menulis ataupun membaca dapat membuat hidup macam ini tertanggungkan? Seluruh karakter dalam film The Hours berjuang menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. ''Mengapa seseorang harus mati dalam novelmu?'' kata Leonard Woolf kepada istrinya. ''Seseorang harus mati agar kita semua lebih menghargai hidup,'' kata Virginia Woolf.

The Hours memang menggendong materi dan pesan yang berat. Sebagian penonton boleh jadi akan menganggap The Hours sebagai film sastra yang brilyan. The Hours, memang sangat menarik pada level intelektual. Dinginnya emosi film ini bisa tertutup oleh kualitas artistiknya. Akting para pemainnya kelas satu: Nicole Kidman paling menyedot perhatian --dengan hidung tambahan dan perubahan fisik menjadi sosok yang sakit, rumahan, dan sedikit ''terganggu''.

Akting Kidman menenggelamkan penampilan Julianne Moore dan Meryl Streep, yang sebenarnya bermain sangat terkontrol. Toh, bagi sebagian penonton lain, film ini tak lebih dari pertunjukan artistik yang membingungkan, pretensius dan cuma berada di permukaan. Hidup memang tak pernah mudah dipahami. Virginia Woolf telah bertanya dan menemukan jawaban. Ia tahu apa yang harus dilakukan: ''Memandang kehidupan tepat diwajahnya, memahaminya sebagaimana adanya, mencintainya apa pun dia, dan kemudian tak ragu meninggalkannya.'' Dan Virginia Woolf pun memilih bunuh diri pada 1941.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar