Sabtu, 20 Desember 2008

Tugas Pengantar Pendidikan UMK

RESUME

“PARADIGMA

DAN

MASA DEPAN PENDIDIKAN

INDONESIA

Disusun Guna Memenuhi

Tugas Portofolio Mata Kuliah

Perkembangan Peserta Didik

Tahun 2008


Disusun Oleh :

( KELAS E )

AHMAD SYUKUR ( 2008.32.281 )

WIDA RAHMAWATI ( 2008.32.298 )

PROGDI PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MURIA KUDUS

BAB III

PRADIGMA PENDIDIKAN MASA DEPAN

.1. Praktek Pendidikan Berwajah Ke-indonesia-an

Pendidikan dalam arti luas adalah proses yang berkaitan dengan upaya untuk mengembangkan pada diri seseorang tiga aspek dalam kehidupannya, yakni, pandangan hidup, sikap hidup dan keterampilan hidup. Upaya untuk mengembangkan ketiga aspek tersebut bisa dilaksanakan di sekolah, luar sekolah dan keluarga. Kegiatan di sekolah direncanakan dan dilaksanakan secara ketat dengan prinsip-prinsip yang sudah ditetapkan. Pelaksanaan di luar sekolah, meski memiliki rencana dan program yang jelas tetapi pelaksanaannya relatif longgar dengan berbagai pedoman yang relatif fleksibel disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi lokal. Pelaksanaan pendidikan dalam keluarga dilaksanakan secara informal tanpa tujuan yang dirumuskan secara baku dan Tertulis.

Dengan mendasarkan pada konsep pendidikan tersebut di atas, maka sesungguhnya pendidikan merupakan pembudayaan atau "enculturation", suatu proses untuk mentasbihkan seseorang mampu hidup dalam suatu budaya tertentu. Konsekuensi dari pemyataan ini, maka praktek pendidikan harus sesuai dengan budaya masyarakat akan menimbulkan penyimpangan yang dapat muncul dalam berbagai bentuk goncangan-goncangan kehidupan individu dan masyarakat.

Tuntutan keharmonisan antara pendidikan dan kebudayaan bisa pula dipahami, sebab praktek pendidikan harus mendasarkan pada teori-teori pendidikan dan giliran berikutnya teori-teori pendidikan harus bersumber dari suatu pandangan hidup masyarakat yang bersangkutan.

A. Praktek pendidikan modern

Bangsa Indonesia telah mengalami berbagai bentuk praktek pendidikan: praktek pendidikan Hindu, pendidikan Budhis, pendidikan Islam, pendidikan zaman VOC, pendidikan kolonial Belanda, pendidikan zaman pendudukan Jepang, dan pendidikan zaman setelah kemerdekaan (Somarsono, 1985). Berbagai praktek pendidikan memiliki dasar filosofis dan tujuan yang berbeda-beda. Beberapa praktek pendidikan yang relevan dengan pembahasan ini adalah praktek-praktek pendidikan modern zaman kolonial Belanda, praktek pendidikan zaman kemerdekaan sampai pada tahun 1965, dan praktek pendidikan dalam masa pembangunan sampai sekarang ini.

Praktek pendidikan zaman kolonial Belanda ditujukan untuk mengembangkan kemampuan penduduk pribumi secepat-cepatnya melalui pendidikan Barat. Diharapkan praktek pendidikan Barat ini akan bisa mempersiapkan kaum pribumi menjadi kelas menengah baru yang mampu menjabat sebagai "pangreh praja". Praktek pendidikan kolonial ini tetap menunjukkan diskriminasi antara anak pejabat dan anak kebanyakan. Kesempatan luas tetap saja diperoleh anak-anak dari lapisan atas. Dengan demikian, sesungguhnya tujuan pendidikan adalah demi kepentingan penjajah untuk dapat melangsungkan penjajahannya. Yakni, menciptakan tenaga kerja yang bisa menjalankan tugas-tugas penjajah dalam mengeksploitasi sumber dan kekayaan alam Indonesia. Di samping itu, dengan pendidikan model Barat akan diharapkan muncul kaum bumi putera yang berbudaya barat, sehingga tersisih dari kehidupan masyarakat kebanyakan. Pendidikan zaman Belanda membedakan antara pendidikan untuk orang pribumi. Demikian pula bahasa yang digunakan berbeda. Namun perlu dicatat, betapapun juga pendidikan Barat (Belanda) memiliki peran yang penting dalam melahirkan pejuang-pejuang yang akhirnya berhasil melahirkan kemerdekaan Indonesia.

Pada zaman Jepang meski hanya dalam tempo yang singkat, tetapi bagi dunia pendidikan Indonesia memiliki arti yang amat signifikan. Sebab, lewat pendidikan Jepang-lah sistem pendidikan disatukan. Tidak ada lagi pendidikan bagi orang asing degan pengantar bahasa Belanda.

Satu sistem pendidikan nasional tersebut diteruskan se telah bangsa Indonesia berhasil merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda. Pemerintah Indonesia berupaya melaksanakan pendidikan nasional yang berlandaskan pada budaya bangsa sendiri. Tujuan pendidikan nasional adalah untuk menciptakan warga negara yang sosial, demokratis, cakap dan bertanggung jawab dan siap sedia menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk negara. Praktek pendidikan selepas penjajahan menekankan pengembangan jiwa patriotisme. Dari pendekatan "Macrocosmics", bisa dianalisis bahwa praktek pendidikan tidak bisa dilepaskan dari lingkungan, baik lingkungan sosial, politik, ekonomi maupun lingkungan lainnya. Pada masa ini, lingkungan politik terasa mendominir praktek pendidikan. Upaya membangkitkan patriotisme dan nasionalisme terasa berlebihan, sehingga menurunkan kualitas pendidikan itu sendiri. Hal ini sangat terasa terutama

pada periode Orde Lama (tahun 1959-1965).

Praktek pendidikan zaman Indonesia merdeka sampai tahun 1965 bisa dikatakan banyak dipengaruhi oleh sistem pendidikan Belanda. Sebaliknya, pendidikan setelah tahun 1966 pengaruh sistem pendidikan Amerika semakin lama terasa semakin menonjol. Sistem pendidikan Amerika menekankan bahwa praktek pendidikan merupakan instrumen dalam proses pembangunan. Oleh karenanya, tidak rnengherankan kalau seiring dengan semangat dan pelaksanaan pembangunan yang dititik-beratkan pada pembangunan ekonomi, praktek pendidikan dijadikan alat untuk dapat mendukung pembangunan ekonomi dengan mempersiapkan tenaga kerja yang diperlukan dalam pembangunan. Dengan kata lain praktek pendidikan yang bersumber pada kebijaksanaan pendidikan banyak ditentukan guna kepentingan pembangunan ekonomi.

Perkembangan pendidikan nasional yang berkiblat pada pendidikan Amerika berkembang pesat dan menunjukkan hasil yang luar biasa. Namun perlu dicatat bahwa kecepatan perkembangan pendidikan nasional ini cenderung mendorong pendidikan ke arah sistem pendidikan yang bersifat sentralistis. Hal ini dapat ditunjukkan dengan semakin berkembangnya birokrasi untuk menopang proses pengajaran tradisional yang semuanya mengarah pada rigiditas. Birokrasi pusat cenderung menekankan proses pendidikan secara klasikal dan bersifat mekanistis. Dengan demikian proses pendidikan cenderung diperlakukan sebagaimana sebuah pabrik. Akibatnya pihak-pihak yang terkait dalam pendidikan, khususnya guru dan murid sebagai individu yang memiliki "kepribadian" tidak banyak mendapatkan perhatian kurikulum, guru dan aturan serta prosedur pelaksanaan pengajaran di sekolah dan juga di kelas ditentukan dari pusat dengan segala wewenangnya. Misalnya, keharusan mengajar dengan menggunakan pendekatan CBSA, kokurikuler dalam bentuk kliping koran.

Lebih lanjut, sentralisasi dan berkembangnya birokrasi pendidikan yang semakin luas dan kaku akan menjadikan keseragaman sebagai suatu tujuan. Hasilnya, berkembanglah manusia-manusia dengan mentalitas "juklak" dan "juknis" yang siap diberlakukan secara seragam. Akibat lebih jauh di masyarakat berkembang prinsip persetujuan sebagai kunci sukses; promosi dan komunikasi adalah komando; interaksi dicampurkan dengan pertemuan-pertemuan resmi; dan stabilitas yang dikaitkan dengan tindakan yang tidak mengandung emosi.

Karena kemerosotan kualitas pendidikan dikarenakan ketidak-mampuan organisasi sekolah menyesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan lingkungan sebagai akibat dari birokratisasi dunia, kualitas pendidikan yang bersifatsentralistis, maka untuk meningkatkan kualitas pendidikan harus didasarkan pada kebijaksanaan debirokratisasi dan desentralisasi.

Desentralisasi pendidikan merupakan suatu tindakan mendelegasikan wewenang kepada satuan kerja yang langsung berhubungan dengan peserta didik. Permasalahannya yang lebih mendalam yang perlu diperfanyakan adalah "apakah kebijaksanaan desentralisasi yang dilaksanakan untuk seluruh fungsi dan kekuasaan sekolah-sekolah ataukah hanya untuk pembagian tugas-tugas administrasi? Apakah kebijaksanaan desentralisasi hanya dilihat sebagai cara untuk mencapai efisiensi dengan mengurangi upaya untuk transformasi baik sistem maupun proses pendidikan?"

Kalau desentralisasi hanya sekedar mengurangi beban tanggung jawab di puncak kekuasaan dengan memberikan sebagian tugas-tugas administrasi kepada aparat yang lebih rendah maka desentralisasi tidak akan banyak artinya sebagai sarana peningkatan kualitas pendidikan. Dewasa ini ketidak-mampuan sekolah meningkatkan kualitas pendidikan mencerminkan ketidak-mampuan struktur dan sistem persekolahan. Kalau tidak ada perubahan yang mendasar pada sistem pendidikan, maka segala upaya peningkatan kualitas akan sia-sia. Oleh karena itu, kebijaksanaan yang diperlukan di dunia pendidikan kita sekarang ini adalah desentralisasi yang mendasar.

Ada beberapa tujuan yang perlu dicapai dengan kebijaksanaan desentralisasi. Pertama, sistem persekolahan harus lebih tanggap terhadap kebutuhan individu peserta didik, guru, dan sekolah. Kedua, iklim pendidikan harus menguntungkan untuk pelaksanaan proses pendidikan.

Di samping mempertanyakan kualitas output pendidikan yang berkiblat ke Arnerika ini, mulai dirasakan bahwa praktek pendidikan cenderung mendorong munculnya generasi terdidik yang bersifat materialistik, individualistik dan konsumtif. Hal ini sesungguhnya merupakan konsekuensi logis dari pengetrapan praktek pendidikan Amerika. Apalagi, pusat-pusat pendidikan yang lain, misalnya media komunikasi massa mendukung proses "Amerikanisasi" ini.

Adapula satu bentuk produk proses pendidikan yang sesungguhnya menyimpang dari apa yang terjadi di Barat yakni munculnya mentalitas "jalan pintas", dengan semangat dan kemauan untuk bisa mendapatkan hasil secepat mungkin, baik di kalangan generasi muda maupun generasi tuanya. Mereka cenderung tidak menghiraukan bahwa segala sesuatu harus melewati proses yang memerlukan waktu. Bahkan tidak jarang waktu yang diperlukan melewati rentang waktu kehidupannya, tetapi demi masa depan generasi yang akan datang generasi sekarang harus merelakannya. Sebagai contoh, di Barat tidak jarang pembuatan "minuman anggur", agar memiliki rasa luar biasa memerlukan waktu puluhan bahkan ratusan tahun. Tidak jarang pada label sebotol anggur dituliskan: "dibuka 100 atau 200 tahun lagi". Mentalitas "jalan pintas" merupakan hasil negatif dari penekanan yang berlebihan pendidikan sebagai instrumen pembangunan ekonomi. Aspek negatif lain yang erat kaitannya dengan mentalitas jalan pintas adalah dominannya nilai ekstrik (Extrinsic Value) di kalangan masyarakat kita, khususnya generasi muda.

Tekanan kemiskinan menimbulkan obsesi bahwa kekayaan merupakan obat yang harus segera diperoleh dengan segala cara dan dengan biaya apapun juga. Oleh karena tujuan segala kegiatan adalah "kekayaan", dan yang lainnya merupakan instrumental variabel untuk mencapai kekayaan tersebut. Oleh karena itu pendidikan, politik bahkan agama dijadikan sarana dan alat untuk mendapatkan kekayaan. Pendidikan, secara khusus, akan diberlakukan sebagai lembaga yang mencetak "tenaga kerja", bukan lembaga yang menghasilkan "manusia yang utuh" (the whole person). Konsep tersebut akan menimbulkan tekanan yang berlebihan pada hasil tanpa menikmati prosesnya. Sekolah dijalani oleh seseorang agar mendapatkan ijazah untuk bekerja. Proses sekolahnya sendiri tidak pernah dinikmati, karena tidak penting.

Dua mental tersebut bisa menjadi faktor yang akan merusak kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk mengembalikan kesadaran di kalangan masyarakat khususnya generasi muda; pentingnya pencapaian tujuan jangka panjang, memahami makna proses yang harus, dilalui dan menyadari akan pentingnya nilai-nilai yang harus muncul dari diri sendiri.

B. Pendidikan dan kebudayaan

Berbagai penyimpangan yang ada dalam masyarakat, misalnya membesarkan jumlah pengangguran, berkembangnya mentalitas jalan pintas, sikap materialistik dan individualistik, dominannya nilai-nilai ekstrinsik terutama di kalangan generasi muda, dari satu sisi bisa dikaitkan dengan kegagalan praktek pendidikan yang berkiblat ke Amerika. Dengan kata lain, praktek pendidikan yang kita laksanakan tidak atau kurang cocok dengan budaya Indonesia. Untuk itu, perlu dicari sosok bentuk praktek pendidikan yang berwajah Indonesia.

Pendidikan merupakan proses yang berlangsung dalam suatu budaya tertentu. Banyak nilai-nilai budaya dan orientasinya yang bisa menghambat dan bisa mendorong pendidikan. Bahkan banyak pula nilai-nilai budaya yang dapat dimanfaatkan secara sadar dalam proses pendidikan. Sebagai contoh di Jepang "moral Ninomiya Kinjiro" merupakan nilai budaya yang dimanfaatkan praktek pendidikan untuk mengembangkan etos kerja. Kinjiro adalah anak desa yang miskin yang belajar dan bekerja keras sehingga bisa menjadi samurai, suatu jabatan yang sangat terhormat. Karena saking miskinnya, orang tuanya tidak mampu membeti alat penerangan. Oleh karena itu dalam belajar ia menggunakan penerangan dari kunang-kunang yang dimasukan dalam botol. Kerja keras diterima bukan sebagai beban, melainkan dinikmati sebagai pengabdian. Selain semangat kerja keras, budaya Jepang juga menekankan rasa keindahan yang tercerminkan pada ketekunan, hemat, jujur dan bersih sebagaimana semangat Kinjiro diwujudkan dalam patung anak yang sedang asyik membaca sambil berjalan dengan menggendong kayu bakar di bahunya. Patung tersebut didirikan di setiap sekolah di Jepang.

Dalam kaitan ini perlu dipertanyakan adakah nilai-nilai dan orientasi budaya kita yang bisa dimanfaatkan dalam praktek pendidikan? Manakah nilai dan orientasi budaya yang perlu dikembangkan dan manakah yang harus ditinggalkan ?

Untuk bisa menjawab pertanyaan tersebut di atas perlu dilaksanakan serangkaian penelitian yang bersifat multidisipliner.

C. Penelitian pendidikan yang diperlukan

Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa ilmu pendidikan di Indonesia mandeg dan pendidikan kita yang lebih berwajah ke-Amerika-an hanya merupakan salah satu akibat kemandegan ilmu pendidikan. Kalau ditelusuri lebih jauh, kemandegan ilmu pendidikan disebabkan terutama karena kualitas penelitian pendidikan yang rendah. Dengan demikian upaya mencari pendidikan yang berwajah ke-indonesia-an harus disertai dengan peningkatan kualitas pendidikan.

Agenda penelitian untuk menemukan pendidikan yang berwajah ke-indonesia-an bisa dimulai dari penelitian untuk menemukan nilai-nilai dan orientasi budaya daerah (setempat) yang memiliki nilai positif bagi praktek pendidikan. Mtsalnya, nilai "Ratu adil di dukung, ratu zalim disanggah", adalah nilai yang mendukung keadilan sosial.

Kedua, penelitian yang membandingkan nilai-nilai yang berkaitan dengan proses pendidikan di rumah (keluarga) dan pendidikan di sekolah. Misalnya, nilai penekanan orang tua untuk memerintah langsung anak atau mendikte anak di satu pihak dan tekanan dalam proses belajar mengajar di sekolah. Sudah barang tentu kedua nilai tersebut bertentangan. Bagaimanakah akibatnya terhadap perkembangan anak didik?

Ketiga, penelitian yang menjawab makna konsep yang tercantum pada falsafah dan dasar negara. Misalnya, dalam alenia pembukaan UUD 1945 tercantum konsep "bangsa yang cerdas". Apa maknanya bangsa yang cerdas? Apakah makna kecerdasan sama antara masyarakat agraris dan masyarakat industri atau bahkan pada masyarakat informatif. Artinya, kecerdasan apakah yang harus dimiliki untuk menuju masyarakaat industri atau masyarakat yang dilanda globalisasi?

Keempat, penelitian yang mencari titik temu antara pendidikan sistem persekolahan dan pendidikan luar sekolah. Sebab, pada masyarakat industri hubungan antara kedua sistem pendidikan tersebut memiliki peran yang penting.

Kelima, penelitian yang memusatkan pada kebijaksanaan pendidikan. Misalnya, sejauh mana terdapat keterkaitan antara kebijaksanaan rayonisasi? Siapakah yang menikmati anggaran pemerintah di bidang pendidikan? Bagaimanakah penduduk miskin dapat menikmati pendidikan?

Keenam, penelitian yang mengkaji kecenderungan-kecenderungan yang akan terjadi di masa mendatang. Bagaimanakah dampak atas adanya kecenderungan tersebut bagi dunia pendidikan khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya? Bagaimanakah caranya agar kita bisa menguasai dan merubah kecenderungan tersebut?

Ketujuh, penelitian yang mengkaji peran dan interaksi berbagai pusat pendidikan. Misalnya, bagaimana hubungan yang harus dikembangkan antara sekolah dan TPI, sekolah dengan surat kabar dan radio?

Akhirnya, perlu dipikirkan adanya penerbitan dari Kelompok Kajian Pendidikan ke-indonesia-an sebagai media penyebaran pertukaran informasi dengan masyarakat luas.

3.2. Pendidikan Berwawasan Global

Krisis demi krisis mulai dari moneter, ekonomi, politik dan kepercayaan yang tengah melanda bangsa Indonesia, merupakan bukti bahwa sebagai bangsa kita sudah terseret dalam arus globalisasi. Informasi bergerak sedemikian cepat sehingga menimbulkan dampak yang berantai. Demonstrasi menduduki bandara cepat menjadi mode, misalnya.

Pendidikan memiliki keterkaitan erat dengan globalisasi. Pendidikan tidak mungkin menisbikan proses globalisasi yang akan mewujudkan masyarakat global ini. Dalam menuju era globalisasi, Indonesia harus melakukan reformasi dalam proses pendidikan, dengan tekanan menciptakan sistem pendidikan yang lebih komprehensif dan fleksibel, sehingga para lulusan dapat berfungsi secara efektif dalam kehidupan masyarakat global demokratis. Untuk itu, pendidikan harus dirancang sedemikian rupa yang memungkinkan para peserta didik mengembangkan potensi yang dimiliki secara alami dan kreatif dalam suasana penuh kebebasan, kebersamaan dan tanggung jawab. Di samping itu, pendidikan harus menghasilkan lulusan yang dapat memahami masyarakatnya dengan segala faktor yang dapat mendukung mencapai sukses ataupun penghalang yang menyebabkan kegagalan dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satu altematif yang dapat dilakukan adalah mengembangkan pendidikan yang berwawasan global.

Premis untuk memulai pendidikan berwawasan gobal adalah bahwa informasi dan pengetahuan tentang bagian dunia yang lain harus mengembangkan kesadaran kita bahwa kita akan dapat memahami lebih baik keadaan diri kita sendiri apabila kita memahami hubungan dengan masyarakat lain dan isu-isu global sebagaimana dikemukakan oleh Psikolog Csikszentmihalyi dalam bukunya The Evolving Self: A Psychology for the Third Millenium, 1993, yang menyatakan bahwa perkembangan pribadi yang seimbang dan sehat memerlukan "an understanding of the complexities of an increasingly complex and interdependent world".

A. Perspektif kurikuler

Pendidikan berwawasan global dapat dikaji berdasarkan dua perspektif: Kurikuler dan perspektif Reformasi. Berdasarkan perspektif kurikuler, pendidikan berwawasan global merupakan suatu proses pendidikan yang bertujuan untuk mempersiapkan tenaga terdidik kelas menengah dan profesional dengan meningkatkan kemampuan individu dalam memahami masyarakatnya dalam kaitan dengan kehidupan masyarakat dunia, dengan ciri-ciri: a) mempelajari budaya, sosial, politik dan ekonomi bangsa lain dengan titik berat memahami adanya saling ketergantungan, b) mempelajari berbagai cabang ilmu pengetahuan untuk dipergunakan sesuai dengan kebutuhan lingkungan setempat, dan, c) mengembangkan berbagai kemungkinan berbagai kemampuan dan keterampilan untuk bekerjasama guna mewujudkan kehidupan masyarakat dunia yang lebih baik.

Oleh karena itu, pendidikan berwawasan global akan menekankan pembahasan materi yang mencakup: a) adanya saling ketergantungan di antara masyarakat dunia, b) adanya perubahan yang akan terus berlangsung dari waktu ke waktu, c) adanya perbedaan kultur di antara masyarakat atau kelompok-kelompok dalam masyarakat oleh karena itu perlu adanya upaya untuk saling memahami budaya yang lain, d) adanya kenyataan bahwa kehidupan dunia ini memiliki berbagai keterbatasan antara lain dalam ujud ketersediaan barang-barang kebutuhan yang jarang, dan, e) untuk dapat memenuhi kebutuhan yang jarang tersebut tidak mustahil menimbulkan konflik-konflik.

Berdasarkan perspektif kurikuler ini,pengembangan pendidikan berwawasan global memiliki implikasi ke arah perombakan kurikulum pendidikan. Mata pelajaran dan mata kuliah yang dikembangkan tidak lagi bersifat monolitik melainkan lebih banyak yang bersifat integratif. Dalam arti mata kuliah lebih ditekankan pada kajian yang bersifat multidispliner, interdisipliner dan transdisipliner.

B. Perspektif reformasi

Berdasarkan perspektif reformasi, pendidikan berwawasan global merupakan suatu proses pendidikan yang dirancang untuk mempersiapkan peserta didik dengan kemampuan dasar intelektual dan tanggung jawab guna memasuki kehidupan yang bersifat sangat kompetitif dan dengan derajat saling ketergantungan antar bangsa yang amat tinggi. Pendidikan harus mengkaitkan proses pendidikan yang berlangsung di sekolah dengan nilai-nilai yang selalu berubah di masyarakat global. Oleh karena itu sekolah harus memiliki orientasi nilai, di mana masyarakat kita harus selalu dikaji dalam kaitannya dengan masyarakat dunia.

Implikasi dari pendidikan berwawasan global menurut perspektif reformasi tidak hanya bersifat perombakan kurikulum, melainkan juga merombak sistem, struktur dan proses pendidikan. Pendidikan dengan kebijakan dasar sebagai kebijakan sosial tidak lagi cocok bagi pendidikan berwawasan global. Pendidikan berwawasan global harus merupakan kombinasi antara kebijakan sosial disatu sisi dan disisi lain sebagai kebijakan yang mendasarkan pada mekanisme pasar. Oleh karena itu, sistem dan struktur pendidikan harus bersifat terbuka, sebagaimana layaknya kegiatan yang memiliki fungsi ekonomis.

Kebijakan pendidikan yang berada di antara kebijakan sosial dan mekanisme pasar, memiliki arti bahwa pendidikan tidak semata ditata dan diatur dengan menggunakan perangkat aturan sebagaimana yang berlaku sekarang ini, serba seragam, rinci dan instruktif. Melainkan, pendidikan juga diatur layaknya suatu Mall, adanya kebebasan pemilik toko untuk menentukan barang apa yang akan dijual, bagaimana akan dijual dan dengan harga berapa barang akan dijual. Pemerintah tidak perlu mengatur segala sesuatunya dengan rinci.

Di samping itu, pendidikan berwawasan global bersifat sistemik organik, dengan ciri-ciri fleksibel-adaptif dan kreatif-demokratis. Bersifat sistemik-organik berarti sekolah merupakan sekumpulan proses yang bersifat interaktif yang tidak dapat dilihat sebagai hitam-putih, melainkan setiap interaksi harus dilihat sebagai satu bagian dari keseluruhan interaksi yang ada.

Fleksibel-Adaptif, berarti pendidikan lebih ditekankan sebagai suatu proses learning dari pada teaching. Peserta didik dirangsang memiliki motivasi untuk mempelajari sesuatu yang harus dipelajari dan continues learning. Tetapi, peserta didik tidak akan dipaksa untuk mempelajari sesuatu yang tidak ingin dipelajari. Materi yang. dipelajari bersifat integrated, materi satu dengan yang lain dikaitkan secara padu dan dalam open-system environment. Pada pendidikan ini karakteristik individu mendapat tempat yang layak.

Kreatif-demokratis, berarti pendidikan senantiasa menekankan pada suatu sikap mental untuk senantiasa menghadirkan sesuatu yang baru dan orisinil. Secara paedogogis, kreativitas dan demokrasi merupakan dua sisi dari mata uang. Tanpa demokrasi tidak akan ada proses kreatif, sebaliknya tanpa proses kreatif demokrasi tidak akan memiliki makna.

Untuk memasuki era globalisasi pendidikan harus bergeser ke arah pendidikan yang berwawasan global. Dari perspektif kurikuler pendidikan berwawasan global berarti menyajikan kurikulum yang bersifat interdisipliner, multidisipliner dan transdisipliner. Berdasarkan perspektif reformasi, pendidikan berwawasan global menuntut kebijakan pendidikan tidak semata sebagai kebijakan sosial, melainkan suatu kebijakan yang berada di antara kebijakan sosial dan kebijakan yang mendasarkan mekanisme pasar. Oleh karena itu, pendidikan harus memiliki kebebasan dan bersifat demokratis, fleksibel dan adaptif.

3.3. Tantangan Pengembangan Sekolah di Masa Depan

Pengalaman pembangunan di negara-negara yang sudah maju, khususnya negara-negara di dunia barat, membuktikan betapa besar peran pendidikan dalam proses pembangunan. Secara umum telah diakui bahwa pendidikian merupakan penggerak utama (prima mover) bagi pembangunan. Secara fisik pendidikan di dunia barat telah berhasil memenuhi kebutuhan tenaga kerja dari segala strata dan segala bidang yang sangat dibutuhkan bagi pembangunan. Dari aspek non-fisik, pendidikan telah berhasil menanamkan semangat dan jiwa modern, yang diujudkan dalam bentuk kepercayaan yang tinggi pada "akal" dan teknologi, memandang masa depan dengan penuh semangat dan percaya diri, dan kepercayaan bahwa diri mereka mempunyai kemampuan (self efficacy) untuk menciptakan masa depan sebagaimana yang mereka dambakan.

Negara-negara sedang berkembang memandang pembangunan yang telah terjadi di dunia barat seakan-akan merupakan cermin bagi diri mereka. Para pemimpin dan ilmiawan di negara sedang berkembang menaruh perhatian yang besar akan peran pendidikan dalam usaha mereka untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Pendidikan modern yang telah berhasil mengantarkan negara-negara maju (dvelopped countries) dari kemiskinan dan keterbelakangan pada masa lampau sehingga mencapai tingkat seperti yang bisa disaksikan dewasa ini, sudah barang tentu akan berhasil pula mengantarkan negara-negara yang sedang berkembang mencapai tingkat pembangunan sebagaimana yang telah dicapai negara-negara maju. Maka pendidikan modern barat pun diimpor ke negara yang sedang berkembang. Biaya dan tenaga diarahkan unuk mengembangkan pendidikan. Anggaran belanja di sektor pendidikan terus meningkat. Usaha mendatangkan tenaga ahli dari barat dan mengirim tenaga domestik ke Barat mendapatkan prioritas yang tinggi. Hasil angka buta huruf menurun dengan drastis, gross atau net enrollment ratio naik, education achievement dari penduduk semakin tinggi.

Namun, di balik keberhasilan menaikkan pendidikan di kalangan masyarakat, pada tahun 1970-80-an, para ahli mulai melihat tanda-tanda "lampu-kuning" pada sistem pendidikan pada negara-negara yang sedang berkembang, termasuk di Indonesia, menimbulkan problema: meninggalkan generasi muda dengan pendidikan tetapi tanpa pekerjaan dan memberikan tekanan yang berat pada anggaran belanja. Hal ini disebabkan oleh karena perkembangan di luar pendidikan, khususnya di dunia ekonomi dan teknologi, berlangsung dengan cepat sehingga perkembangan sektor pendidikan tertinggal di belakang. Akibatnya pendidikan tidak lagi berfungsi sebagai pendorong proses kemajuan, melainkan menjadi "pengikut proses kemajuan". Mulailah para ahli, khususnya di bidang pendidikan mempertanyakan teori-teori dan sistem pendidikan yang mereka impor dari barat: relevankah teori dan sistem pendidikan barat diterapkan di dunia sedang berkembang?

Persoalan-persoalan pendidikan dan pembangunan yang terjadi di negara sedang berkembang, termasuk di Indonesia, secara mendasar berbeda dengan problema yang ada di negara-negara Barat. Persoalan pendidikan di Indonesia sangat erat kaitannya dengan falsafah dan budaya bangsa. Winarno Surachmad (1986) memperingatkan "... bahwa ilmu kependidikan yang tidak lahir dan tidak tumbuh dari bumi yang diabdinya tidak akan pernah mampu melahirkan potensi untuk menangani masalah yang tumbuh di bumi ini". (h.5). Barangkali, pendapat tersebut sangat ekstrim, namun tuntutan bahwa ilmu kependidikan yang akan digunakan untuk memecahkan problema di suatu negara hendaknya tidak lepas dari kondisi budaya setempat memang perlu untuk mendapatkan perhatian dari semua pihak, khususnya dari para perencana dan pengambil keputusan di bidang kebijaksanaan pendidikan. Teori-teori Barat tentang pendidikan dan pembangunan tidaklah senantiasa bersifat universal. Jiwa dan watak bangsa harus menjiwai sistem pendidikan itu sendiri.

A. Perkembangan dan problem pendidikan

Semenjak Orde Baru, khususnya mulai PELITA I, perkembangan sektor pendidikan di Indonesia berkembang dengan pesat. Pemerintah memberikan prioritas yang tinggi pada perkembangan sektor pendidikan didasarkan pada asumsi bahwa dengan pendidikanlah pembangunan ekonomi Indonesia akan berhasil dengan baik. Didukung dengan hasil minyak bumi, maka perkembangan sarana fisik, khususnya gedung sekolah dasar dapat dilaksanakan pada tingkatyang luar biasa. Puluhan ribu guru diangkat, ratusan judul buku paket dicetak, training dan bentuk latihan peningkatan kualitas guru diselenggarakan. Dan hasilnya secara statistik perkembangan pendidikan di Indonesia sangat menggembirakan.

Namun, dibalik angka-angka di atas, dunia pendidikan di Indonesia masih menghadapi problema yang berat, yang dapat dikategorikan menjadi: a) internal in-efficiency, b) external in-efficiency, dan c) ketidakmerataan kesempatan pendidikan. internal in-efficiency dalam sektor pendidikan berujud dalam bentuk tingginya angka drop-outs dan angka repeaters (ulang kelas yang sama). Sedangkan external in-efficiency berujud lulusan pendidikan tidak dapat diserap oleh pasar tenaga kerja ataupun dapat dipakai tetapi antara pekerjaan yang dilakukan berbeda dengan pendidikan yang diperoleh. Sedang ketidakmerataan pendidikan berujud adanya perbedaan memperoleh kesempatan pendidikan antara laki-laki dan wanita, antara penduduk kota dan penduduk desa dan antara kaya dan miskin.

External in-efficiency pada sektor pendidikan tidaklah bisa dipisahkan dengan sektor yang lain, khususnya sektor ekonomi dan politik. Sebagaimana telah disinggung di atas modernisasi di bidang ekonomi jauh lebih cepat dari pada modernisasi di bidang pendidikan. Perubahan-perubahan bidang ekonomi dan teknologi sedemikian cepat, di lain pihak perubahan dunia pendidikan berjalan lambat. Perubahan-perubahan pada sistem dan kurikulum pendidikan tidak bisa dilakukan dengan cepat, karena adanya suatu perubahan di sektor pendidikan akan membawa dampak yang sangat luas dan besar pada kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Pengalaman pembangunan di negara-negara Barat, sistem dan kurikulum pendidikan dikembangkan dan didasarkan pada keadaan masyarakat saat itu dan proyeksi keadaan masyarakat di masa mendatang. Namun pada era teknologi dewasa ini sangat sulit atau dapat dikatakan hampir tidak mungkin bisa meramalkan keadaan masa mendatang dengan tepat. Akibat dari ketidakmampuan pendidikan memperhitungkan apa yang akan terjadi di masa mendatang, pendidikan juga tidak mampu untuk menyediakan tenaga kerja yang dibutuhkan oleh sektor ekonomi dan industri. Art dan peranan manpower planning semakin merosot karena tidak bisa merencanakan demand dan supply tenaga kerja dengan tepat Maka rentetan berikutnya adalah naiknya tingkat pengangguran terdidik tidak dapat terelakkan lagi.

Problema ketiga adalah ketidakmerataan kesempatan mendapatkan pendidikan. Ketidakmerataan ini bisa dilihat menurut sex, tempat tinggal, dan terutama menurut status sosial ekonomi. Teori klasik menyatakan bahwa pendidikan akan menjembatani jurang antara kelompok kaya dan kelompok miskin di masyarakat sudah banyak mendapatkan kritikan dan tantangan. Teori-teori Dependency, dengan bukti bukti empiris dari dunia ketiga, menunjukkan bahwa justru pendidikan memperbesar jurang kaya dan miskin. Sebab pada diri pendidikan itu sendiri terdapat stratifikasi sosial (lihat, Karabel dan Halsey, 1977).

Kalau ketidakmerataan memperoleh pendidikan menurut sex dan desa/kota, sudah mulai dapat diperkecil dengan berbagai kebijakan pendidikan yang telah dilaksanakan, tidak demikian dengan ketidakmerataan pendidikan di antara penduduk miskin dan kaya. Perbedaan pendidikan menurut status ekonomi antara kaya dan miskin masih sulit untuk dipecahkan. Hal ini erat kaitannya dengan kualitas sekolah. Kualitas sekolah dan juga jenis atau jurusan akan menentukan status di masa depan. Sedangkan sebagian besar anak didik yang bisa memperoleh sekolah "favorit" datang dari kalangan keluarga mampu, sedang keluarga yang relatif miskin akan memperoleh sekolah yang juga relatif rendah kualitasnya. Hal ini tidak mengherankan, karena anak didik yang dapat memenuhi kualifikasi untuk masuk sekolah favorit sebagian besar adalah anak dari keluarga yang relatif mampu, yang memang secara riil lebih pandai.

B. Pengalaman dan tantangan

Kesadaran bahwa pendidikan harus senantiasa tanggap terhadap kemajuan telah mendorong para ahli dan pengambil keputusan di bidang pendidikan untuk terus menerus mengadakan pembaharuan. Pembaharuan pendidikan secara langsung dimaksudkan untuk memecahkan ketiga problema di atas: internal in-efficiency, external in-efficiency, dan ketidakmerataan pendapatan. Secara tidak langsung, perubahan-perubahan di sektor pendidikan: misalnya, perubahan struktur pendidikan dan kurikulum, baik dalam arti content dan instructional delivery system, merupakan upaya agar pendidikan menjadi agent of development yang canggih.

Namun pembaharuan-pembaharuan yang teiah dilaksanakan tidak jarang mengandung kelemahan dan perlu untuk dikritik. Salah satu kritik pernah dilontarkan oleh Winarno Surachmad (1986) yang menilai bahwa pembaharuan pendidikan di Indonesia bersifat tambal sulam dan kurang mendasar. Perubahan-perubahan kurikulum hanya menciptakan konfigurasi baru dengan isi yang lama. Kritik Havelock dan Huberman (1977) dan World Bank (1980) yang ditujukan pada pembaharuan pendidikan di negara-negara berkembang, termasuk sangat tepat untuk ditujukan pada pembaharuan pendidikan di Indonesia. Mereka menyatakan bahwa pembaharuan pendidikan yang dilakukan tidak dapat dipraktekkan karena keterbatasan pengetahuan pada tingkat pelaksana. Pembaharuan pendidikan yang dilaksanakan cenderung bersifat "technocratic perspective", artinya pembaharuan cenderung menekankan pada adopsi dari suatu perubahan daripada implementasi pada level klas (Verspoar&Reno, 1986). Di samping itu pendidikan di negara sedang berkembang cenderung mengambil alih apa yang telah berhasil dilaksanakan di dunia Barat. Sehingga inovasi yang dilaksanakan bersifat "metropolitan sentris". Karena bersifat "metropolitan sentris" , tidak jarang suatu pembaharuan pendidikan akan mengakibatkan perbedaan semakin tajam antara pendidikan di urban dan di rural. Hal ini bisa dimaklumi, sebab guru-guru di kota lebih siap untuk menerima pembaharuan yang dilaksanakan. Di samping itu, di banyak hal pembaharuan pendidikan yang dilaksanakan di Indonesia tidak mempunyai strategi monitoring dan prosedure evaluasi yang mantap. Sebagai contoh bisa disebut pembaharuan sistem dan kurikulum sekolah pembangunan.

Lebih mendasar lagi, tidak jarang pembaharuan yang kita laksanakan merupakan pengambilalihan dari Barat, tanpa mengadakan modifikasi yang berarti dan mempertanyakan secara mendalam hakekat dan aspek-aspek yang pokok yang ada pada ide yang akan diambil tersebut. Dengan mempertanyakan hakekat ide yang akan dilaksanakan itu akan dapat diperhitungkan kemungkinan implementasinya. Sebab pada hakekatnya pembaharuan pendidikan harus berdasarkan pada What is, tidak pada What ought to be; pembaharuan harus cocok dengan realitas ruang-ruang kelas. Sebagai ilustrasi kritik ini dapat diambil sebagai contoh pembaharuan pada metoda pengajaran. Dalam kurikulum 1984, hampir pada semua pokok bahasan dicantumkan metoda cara belajar siswa aktif (CBSA) sebagai metoda yang harus digunakan. Metoda ini telah berhasil menaikkan "gengsi" pendidikan di Amerika pada tahun-tahun 1960-an. Metoda CBSA mementingkan proses berpikir dan melatih inquiry skid. Kelebihan lain dari metoda ini adalah meningkatkan critical thinking, merangsang intrinsic motivation dan memberikan kemungkinan daya ingat yang lama pada diri siswa (Bruner, 1961). Namun perlu diingat bahwa metoda ini memerlukan persyaratan tertentu untuk bisa diimplementasikan. Misalnya, pelaksanaan metoda CBSA memerlukan kondisi dan iklim kelas yang tidak terlalu formal dan fleksibel. Guru harus mempunyai pengetahuan yang relatif luas. Pada diri murid sudah terpatri kecintaan dan kesadaran pada hakekat ilmu, sikap ingin tahu, menghargai pikiran-pikiran dan bukti-bukti kebenaran, objektif dan bersifat toleransi.

Patut kita pertanyakan sudahkah syarat-syarat tersebut ada pada kelas-kelas dan siswa-siswa di tanah air kita? Apa yang diketemukan di kelas-kelas di Indonesia jauh dari yang diperlukan. Kelas-kelas masih sangat kaku dan formal. Pengetahuan para guru relatif terbatas, oleh karena itu mereka tidak berani membicarakan apa yang di luar silabi. Karena membicarakan di luar silabi memang di luar kemampuannya. Di fihak lain, murid cenderung untuk mendengarkan, menerima dan mencatat apa yang diterangkan oleh guru. Apa yang diterangkan oleh guru sudah dianggap merupakan kebenaran, oleh karena itu tidak perlu dipertanyakan dan diuji lagi. Maka, tidak mengherankan kalau metoda CBSA hampir dapat dikatakan tidak pernah dilaksanakan dalam ruang-ruang kelas. Selama kondisi tersebut belum terpenuhi metoda CBSA tidak akan pernah hadir di kelas secara riil.

Dalam setiap pembaharuan pendidikan, guru memegang peran yang strategis, sebab merekalah yang merupakan pelaksana pembaharuan pada level kelas. Namun, pengalaman di Indonesia menunjukkan guru lebih banyak dilihat sebagai objek dalam pembaharuan pendidikan. Sehingga setiap kebijaksanaan sebagai ujud pembaharuan pendidikan lebih banyak bersifat instruksi yang harus dipatuhi dan dilaksanakan dan tidak ada ruang bagi guru untuk berimprovisiasi. Perencanaan dan kebijaksanaan nasional memang perlu, namun perlu dicatat bahwa pelaksanaan pembaharuan pendidikan sangat tergantung pada semangat, rasa keterlibatan, dan kesadaran para guru. Guru akan memberikan respon yang positif pada setiap usaha pembaharuan yang akan dapat meningkatkan kemampuan profesional mereka dan memberikan ruang bagi mereka untuk berimprovisasi secara aktif dalam proses pembaharuan tersebut. Oleh karena itu setiap upaya pembaharuan pendidikan seharusnya menjadikan guru sebagai partisipan yang aktif, tidak hanya sebagai penerima pembaharuan. Pembaharuan pendidikan yang cenderung menjadikan guru sebagai objek dan sekedar penerima pembaharuan, apalagi hanya lewat instruksi, cenderung untuk gagal. Dalam kaitan ini perlu untuk didengar pendapat Fullan (1985) bahwa keberhasilan pembaharuan pendidikan tergantung pada apa yang difikir dan dilakukan guru.

Di samping apa yang dikemukakan di atas, pembaharuan pendidikan di negara-negara sedang berkembang, termasuk di Indonesia, jarang mengevaluasi dan mengembangkan aspek lain dari pendidikan formal di luar kurikulum dan kemampuan guru. Di samping aspek kurikulum dan kemampuan guru, sekolah mempunyai aspek lain, yaitu aspek sosiologis; sekolah merupakan "a mini society".

Sebagai suatu masyarakat kecil, sekolah merupakan cermin dari masyarakat dimana sekolah itu berada. Apa yang terdapat dan terjadi di masyarakat, pada dasarnya terujud juga dalam sekolah. Di sekolah terdapat aturan-aturan yang mengikat para anggotanya, baik anak didik maupun guru. Ada norma-norma dalam pergaulan yang harus dipatuhi, terdapat interaksi antara sesamanya baik secara individual maupun kelompok, terdapat konflik-konflik interes baik nampak maupun tersembunyi. Sangsi-sangsi akan dijatuhkan kepada siapa saja yang melanggar tatanan yang ada. Hak-hak dan kewajiban guru dan murid diakui.

Dalam proses "transfer of culture", termasuk di dalamnya proses pembentukan kepribadian, sikap, rasa dan juga intelektualitas, aspek sekolah sebagai "a mini society" sangat penting artinya. Model sekolah Muhammadiyah dengan memadukan antara Masjid dan gedung sekolah, merupakan bentuk pengakuan pentingnya aspek sekolah sebagai masyarakat kecil tersebut.

Dalam dunia pendidikan terdapat dua teori yang berkaitan dengan sekolah sebagai masyarakat kecil ini. Pertama, sekolah tempat melatih dan mempersiapkan anak didik untuk terjun pada kehidupan mereka di masa mendatang. Kedua, sekolah merupakan kehidupan riil anak didik itu sendiri, bukannya tempat mempersiapkan anak didik. "School is not preparation for life, but life it self" (Dewey, 1944).

Implikasi praktis dari teori pertama, anak didik dalam proses pendidikan diberlakukan sebagai objek pendidikan. Mereka merupakan objek yang tengah digembleng dan dicetak agar mampu mengarungi kehidupan di kemudian hari. Mereka bukanlah subjek di dunia sekolah yang ada ini. Sayangnya, kemajuan yang pesat di bidang ilmu dan teknologi menyebabkan perubahan-perubahan yang berlangsung di masyarakat sangat cepat dan sulit itu bisa diramalkan dengan tepat (lihatToffler, 1974, 1981). Oleh karena itu timbul pertanyaan, bagaimana mempersiapkan anak didik untuk mengarungi kehidupan di kemudian hari itu sendiri tidak bisa diprediksi?

Teori kedua, menekankan hendaknya sekolah diselenggarakan sedemikian rupa sehingga betul-betul merupakan kehidupan riil anak didik itu sendiri. Implikasi dari teori ini adalah anak didik merupakan subjek dari proses pendidikan. Kehidupan sosial anak didik dalam masyarakat kecil tersebut merupakan dasar dan sumber dari transformasi kehidupan. Peran paling penting dalam proses pendidikan bukanlah terletak pada mata pelajaran yang diberikan, melainkan pada aktifitas dan interaksi sosial anak didik itu sendiri. Peran guru menurut falsafah ini lebih banyak bersifat tut wuri handayani; memberikan dorongan dan motivasi agar para anak didik mampu memperluas kemampuan pandang, unluk mengembangkan berbagai altematif dan pengambilan keputusan dalam aktifitas kehidupan serta memperkuat kemauan untuk mendalami dan mengembangkan apa yang dipelajari dalam proses kehidupan itu. Namun, perlu difahami pula, bahwa dengan menjadikan anak didik sebagai subjek dalam proses pendidikan tidak berarti sekolah bersifat "value free". Tetap saja, sekolah lewat guru dan kurikulum akan menanamkan values, tetapi dengan cara "value-fair". Artinya dalam usaha menanamkan nilai-nilai, guru tidak akan memaksakan sesuatu nilai tertentu kepada anak didiknya. Melainkan guru melakukan usaha-usaha dengan berbagai cara atau metoda, berbagai alat bantu, agar anak didik akan membenarkan dan menerima nilai-nilai yang ia ajarkan, anak didik sendirilah yang menemukan dan mengadopsi nilai-nilai yang ditargetkan oleh sekolah untuk ditanamkan pada anak didiknya.

Banyak keberatan dari para ahli atas bentuk sekolah berdasarkan teori yang pertama. Keberatan yang terpenting adalah dengan menjadikan anak didik sebagai objek berarti pendidikan merupakan tindakan "mencomot" anak didik dari lingkungannya sendiri untuk dimasukkan ke dalam lingkungan yang lain yang belum tentu sesuai atau malahan asing bagi anak didik. Lingkungan baru itu bernama sekolah. Kalau anak didik tidak cocok dengan lingkungan baru, sebagai objek, anak didik tidak bisa berbuat apa-apa. Masalahnya akan menjadi rumit, kalau apa yang dilihat, diterima dan dihayati dalam lingkungan "mini society" ini tidak sama atau malahan bertentangan dengan apa yang ia lihat, terima dan hayati dari lingkungan yang lebih besar, yakni masyarakat. Akibat dari keadaan ini, tidak mengherankan kalau banyak anak didik yang mengikuti pelajaran di sekolah dengan setengah hati.

Di fihak lain, lebih banyak para ahli yang keberatan dengan teori kedua. Keberatan pokoknya adalah berkisar pada kekhawatiran pendidikan akan menjadi proses yang tanpa arah dan "anarkis".

Sudah barang tentu pembaharuan pendidikan di negara kita di masa mendatang harus pula memperhitungkan aspek sekolah sebagai "a mini society" ini. Pembaharuan pendidikan tidak berarti harus mengambil salah satu teori pendidikan secara murni. Yang penting adalah bagaimana pembaharuan pendidikan bisa membuahkan kebijaksanaan yang mengarahkan agar pendidik bisa memanfaatkan variasi interaksi dan pengalaman riil yang diperoleh anak didik di sekolah sebagai upaya untuk mencapai keberhasilan pendidikan.

Ada tiga hal yang telah dikemukakan dalam pembahasan tentang pembaharuan pendidikan: kurikulum, guru dan sekolah sebagai "a mini society". Pengembangan sekolah di masa depan di mana perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat sangat cepat dan unpredictabfe, ketiga hal tersebut tidak bisa ditinggalkan.

C. Sekolah Dasar di masyarakat yang berubah dengan cepat

Dalam proses pendidikan, sekolah dasar menempati posisi yang sangat vital dan strategis. Kekeliruan dan ketidaktepatan dalam melaksanakan pendidikan di tingkat dasar ini akan berakibat fatal untuk pendidikan tingkat selanjutnya. Sebaliknya, keberhasilan pendidikan pada tingkat ini akan membuahkan keberhasilan pendidikan tingkat lanjutan. Sayangnya, berbagai fihak justeru menempatkan pendidikan dasar lebih rendah daripada tingkat pendidikan yang lain, terbukti antara lain, dengan adanya kualifikasi dan gaji guru sekolah dasar yang berbeda dengan sekolah lanjutan.

Usaha-usaha meningkatkan kualitas sekolah dasar sudah sangat mendesak. Tanpa ada peningkatan kualitas sekolah dasar yang mendasar, usaha-usaha peningkatan kualitas sekolah lanjutan menengah pertama dan atas tidak akan berhasil dengan maksimal. Di samping itu kondisi-kondisi yang ada menunjukkan bahwa secara kuantitas penyediaan fasilitas sekolah dasar sudah memadai. Pada tahun 1986, sudah lebih dari 94% anak umur sekolah dasar (umur 7 - 12) telah tertampung di sekolah-sekolah. Malahan sebagai hasil dari program pengendalian penduduk, pertambahan murid sekolah dasar kelas satu sudah mulai menurun. Untuk tahun-tahun mendatang ini, gejala-gejala menurunnya murid kelas satu akan semakin nampak jelas terasa. Oleh karena itu, problema sekolah dasar akan bergeser dari bagaimana menyediakan fasilitas bergerak kepada bagaimana mengorganisir sekolah dasar yang semakin kecil tetapi bisa semakin berkualitas. Bagi sekolah negeri barangkali problema ini tidak begitu terasa, tetapi bagi swasta yang terjadi adalah sebaliknya.

Dalam hubungan dengan usaha peningkatan kualitas sekolah dasar, Beeby (1983) mengidentifikasi dua bentuk usaha peningkatan kualitas sekolah. Bentuk pertama, peningkatan kualitas sistem dan manajemen sekolah. Hal ini berhubungan dengan "the flow of students". Kedua, peningkatan kualitas berkenaan dengan proses belajar-mengajar di ruang-ruang kelas.

Usaha peningkatan kualitas yang berhubungan "the flow of students" pada dasarnya bertujuan untuk menghilangkan pemborosan sebagai akibat internal in-efficiency in education. Kebijaksanaan apa yang dapat dikembangkan sehingga tingkat anak didik mengulang kelas dan putus sekolah bisa ditekan, bahkan kalau mungkin dihilangkan. Wajib Belajar Pendidikan Dasar, untuk anak umur 7-15 tahun dan pembebasan uang SPP merupakan kebijaksanaan yang penting dan tepat untuk mengurangi tingkat putus sekolah ini.

Untuk menghilangkan "repeaters" nampaknya lebih sulit. Apalagi informasi berkenaan dengan sebab-sebab ulang kelas ini sangat sedikit. Salah satu usaha untuk menghilangkan ulang kelas adalah dengan menetapkan "automatic class promotion system". Dengan sistem ini anak didik setiap tahun secara otomatis akan naik kelas. Sehingga nanti umur anak didik akan menunjukkan kelasnya. Sudah barang tentu kebijaksanaan ini harus diiringi dengan kebijaksanaan "remedial programs". Anak didik yang tidak bisa mengikuti pelajaran atau tertinggal harus mengikuti pelajaran tambahan. Kebijaksanaan ini untuk negara kita tidaklah mustahil, mengingat jumlah murid sekolah dasar semakin kecil sebaliknya jumlah guru berlebihan. Dengan semakin kecilnya rasio murid-guru, maka guru akan bisa mengenal dengan tepat perkembangan anak didik.

Dalam peningkatan mutu SD, masalah kurikulum, kualitas guru dan lingkungan keluarga perlu mendapat perhatian. Pada level nasional, pengembangan kurikulum merupakan proses politik, administrasi dan birokrasi, serta sekaligus proses profesionalisme. Proses ini mengandung negosiasi antara harapan-harapan dan sumber-sumber yang tersedia. Apabila dalam proses pengembangan kurikulum ini masalah-masalah yang riil ada di kelas diperhitungkan maka kurikulum akan memberikan sumbangan yang besar pada peningkatan kualitas sekolah. Dua hal yang perlu mendapatkan perhatian adalah kebutuhan lingkungan dan kemampuan guru.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada waktu yang lalu melontarkan ide perlunya warna lokal pada kurikulum pendidikan kita. Ide tersebut sangatlah tepat dan perlu untuk mendapatkan support dan partisipasi dari para pendidik. Kebhinekaan masyarakat kita yang tercermin dalam banyak aspek kehidupan: lingkungan fisik, sosial dan budaya, perlu untuk diperhitungkan dalam pengembangan kurikulum. Realitas kebhinekaan ini, merupakan dasar yang logis untuk mengembangkan kurikulum nasional yang berwarna lokal. Kurikulum yang "murni bersifat nasional" sulit untuk bisa diterima. Kurikulum yang demikian itu akan menghasilkan keterasingan pada sementara anak didik, sebab apa yang dipelajari di sekolah tidak relevan dengan lingkungan sekelilingnya.

Proses pengembangan kurikulum berwarna lokal dalam kurikulum nasional hendaknya lebih banyak menarik partisipasi para pendidik. Kalau di tingkat nasional pengembangan kurikulum lebih banyak dilakukan oleh para "perencana dan administrator pendidikan", maka pengembangan kurikulum lokal seyogyanya lebih banyak ditentukan oleh pendidik sendiri.

Selain isi kurikulum (intended curriculum) maka sistem pengajaran (the instructionat delivery system) perlu untuk mendapat perhatian. Pendidikan pada tingkat sekolah dasar diarahkan untuk mengembangkan kreatifitas, kecintaan dan loyalitas pada tanah air, dan critical thinking pada diri anak didik. Untuk mencapai tujuan ini maka model Student Active Learning adalah merupakan metoda yang paling tepat. Kemampuan para guru sekolah dasar perlu untuk ditingkatkan. Usaha-usaha peningkatan kualitas guru sekolah dasar ini harus mendasarkan pada kemampuan guru yang ada sekarang ini untuk diarahkan pada kemampuan yang diinginkan. Untuk ini perlu ada kegiatan "need of assessment" sehingga berdasarkan kegiatan itu bisa disusun "peta kualitas guru". Hal ini menghindarkan adanya "in service training" yang tidak tepat. Langkah yang lebih mendasar, adalah meningkatkan kualitas guru secara formal.

Usaha peningkatan kualitas guru perlu pula dilakukan secara formal. Dalam arti pensyaratan untuk menjadi guru sekolah dasar tidak cukup lulusan SPG, melainkan perlu ditingkatkan menjadi lulusan perguruan tinggi. Hal ini sudah saatnya, mengingat tenaga guru sekolah dasar sudah lebih dari cukup. Di samping itu untuk melaksanakan pengembangan sekolah dasar di masa depan memang memerlukan tenaga guru yang memiliki kualifikasi lebih tinggi. Untuk menghadapi pembaharuan-pembaharuan pendidikan di masa mendatang dan menanggapi perubahan-perubahan di masyarakat yang sangat cepat itu, kualifikasi guru SD tamatan SPG sangat diragukan kemampuannya. Diharapkan pula dengan persamaan kualifikasi untuk menjadi guru sekolah dasar dan guru sekolah lanjutan, di masa mendatang perbedaan "derajat" antara kedua tingkat pendidikan itu juga akan hilang. Labih daripada itu, adanya integrasi lembaga pendidikan dalam satu institusi akan menguntungkan dalam menyusun rencana pengembangan kurikulum pendidikan calon guru secara integral dan menyeluruh, termasuk pula kurikulum untuk "in-service training".

Usaha-usaha pengembangan kreatifitas anak didik dan kecintaannya pada tanah air dapat dilaksanakan pula lewat proses interaksi yang terjadi di sekolah. Sebagaimana yang telah disinggung di depan, sekolah adalah merupakan "a mini society". Guru harus bisa memanipulasi aktifitas dan interaksi anak didik untuk mengembangkan kreatifitas anak dan kecintaan pada tanah air. Misalnya, bagaimana guru bisa memberikan kesempatan pada anak didik untuk menentukan kegiatan olah raga yang akan dilaksanakan, apa yang harus dilakukan pada anak yang tidak mengerjakan pekerjaan rumah, membuat peraturan-peraturan di kelas ataupun di luar

kelas.

Hasil pendidikan di sekolah dasar dipengaruhi oleh lingkungan keluarga. Penelitian-penelitian yang dilakukan baik di negara Barat maupun di negara kita membuktikan statement di atas (lihat Sudarsono, 1984; Johnstone & Jiyono, 1983; Simmons, 1980). Ada lima aspek dari lingkungan keluarga yang berpengaruh terhadap hasil pendidikan sekoiah dasar. Pertama, pola perilaku anak dan orang tua; kedua, bantuan dan petunjuk orang tua dalam belajar; ketiga, diskusi antara orang tua dan anak; dan, keempat, penggunaan bahasa di rumah, dan aspirasi pendidikan orang tua.

Anak dari kalangan keluarga di mana ada struktur kegiatan memiliki prestasi yang lebih baik dari pada anak yang datang dari kalangan keluarga yang tidak mempunyai struktur kegiatan. Memiliki struktur kegiatan berarti dalam keluarga tersebut ada jadwal kegiatan dan tanggung jawab anak secara jelas. Kapan waktu belajar, waktu bermain, waktu membantu orang tua melakukan pekerjaan rumah tangga. Waktu-waktu tersebut harus ditepati. Pelanggaran yang dilakukan akan dapat mengakibatkan tidak dapat melihatTV, misalnya.

Bantuan dan petunjuk orang tua bagi anak dalam kegiatan-kegiatan belajar sangat diperlukan. Anak yang datang dari keluarga di mana orang tuanya membantu dan memberikan petunjuk belajar mempunyai prestasi yang lebih baik daripada anak yang datang dari keluarga yang tidak mau tahu tentang kegiatan belajar anaknya. Sekolah bagi anak bukanlah merupakan kegiatan yang gampang. Orang tua perlu memberikan support dan dorongan agar anak bisa tetap pada interes dan kesenangan dalam belajar. Anak akan sering menghadapi kesulitan dalam satu mata pelajaran tertentu atau lebih. Kesulitan-kesulitan akan menyebabkan anak patah semangat untuk belajar dan tidak jarang menyebabkan anak mempunyai "self-concept" yang jelek. Usaha-usaha membesarkan hati manakala anak menghadapi kesulitan dan memberikan pujian manakala anak mendapatkan prestasi yang baik sangat diperlukan bagi anak-anak sekolah dasar.

Kegiatan belajar anak pada hakekatnya tidak hanya berlangsung di sekolah atau di ruang-ruang kelas. Di luar sekolah pun proses ini berlangsung. Orang tua bisa menggunakan kesempatan kumpul sebagai media bagi anak untuk belajar. Anak-anak yang datang dari keluarga di mana sering melakukan diskusi antara anggota keluarga menunjukkan prestasi yang lebih baik daripada anak yang di rumah tidak pernah berbincang-bincang dengan orang tua atau saudaranya.

Prestasi anak yang datang dari keluarga di mana komunikasi sehari-harinya menggunakan bahasa Indonesia (bahasa yang digunakan di sekolah) lebih tinggi daripada prestasi anak yang di rumah tidak menggunakan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Indoensia di rumah akan memperkaya kemampuan bahasa anak. Secara langsung anak mengembangkan kemampuan bahasa Indonesia di rumah.

Keluarga merupakan tempat di mana anak bisa mendapatkan motivasi untuk belajar dan mengembangkan harapan-harapan pendidikan dan gaya hidup di masa depan. Orang tua mempunyai peranan yang sangat besar dalam mengembangkan motivasi dan aspirasi pendidikan anak. Orang tua seyogyanya mempunyai informasi yang jelas tentang aktifitas anak di sekolah, mata pelajaran apa yang membuat anak senang dan tidak senang, di mana kelebihan dan kekurangan anak dalam belajar. Orang tua di samping memberikan support seyogyanya juga memberikan standar yang harus dicapai oleh anak. Anak-anak yang datang dari keluarga di mana orang tua mengembangkan motivasi dan aspirasi belajar anak, memiliki prestasi yang lebih tinggi dari pada anak yang datang dari keluarga di mana orang tua tidak pemah mengembangkan motivasi dan aspirasi pendidikan anaknya.

Melihat hasil-hasil penelitian di atas, maka usaha peningkatan kualitas pendidikan di sekolah dasar, khususnya, bisa dipisahkan dari lingkungan keluarga. Orang tua tidak bisa menyerahkan secara 100% agar anaknya dididik di sekolah. Perlu ada kerjasama antara sekolah dan orang tua dalam usaha meningkatkan kualitas sekolah. Orang tua perlu mendapatkan informasi apa yang harus dilakukan di rumah untuk menunjang keberhasilan anak di sekolah. Hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan di Indoensia bisa dijadikan bahan untuk diinformasikan kepada orang tua. Problemanya, siapa yang harus melakukan?

Sekolah-sekolah mempunyai lembaga Badan Pembantu Penyelenggaraan Pendidikan (BP3). Sampai saat ini lembaga tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal, baru terbatas untuk menghubungkan dana pembangunan gedung. Sesungguhnya BP3 ini bisa ditingkatkan peranannya, dari pengumpul uang pembangunan gedung menjadi pemegang peran mempertemukan apa yang terjadi di sekolah dan apa yang seyogyanya dilakukan oleh orang tua kepada anaknya di rumah, dalam kaitannya dengan proses belajar anak di sekolah.

Dengan kata, lain untuk peningkatan kualitas pendidikan di sekolah dasar perlu ada kerjasama yang erat antara orang tua dan guru, antara sekolah dan rumah. Orang tua tahu apa yang terjadi di sekolah, sebaliknya guru bisa memberikan pengarahan apa yang seyogyanya dilakukan oleh orang tua terhadap anak dalam rangka menunjang keberhasilan anak di sekolah.

D. Peranan IKIP

3.4. Mempersiapkan Kurikulum Pendidikan Abad XXI

Pendidikan merupakan suatu proses yang sangat kompleks dan berjangka panjang, di mana berbagai aspek yang tercakup dalam proses saling erat berkaitan satu sama lain dan bermuara pada terwujudnya manusia yang memiliki nilai hidup, pengetahuan hidup dan keterampilan hidup. Prosesnya bersifat kompleks dikarenakan interaksi di antara berbagai aspek tersebut, seperti guru, bahan ajar, fasilitas, kondisi siswa, kondisi lingkungan, metode mengajar yang digunakan, tidak selamanya memiliki sifat dan bentuk yang konsisten yang dapat dikendalikan. Hal ini mengakibatkan penjelasan terhadap fenomena pendidikan bisa berbeda-beda baik karena waktu, tempat maupun subjek yang terlibat dalam proses. Dalam proses pendidikan tersebut diatas, kurikulum menempati posisi yang menentukan. lbarat tubuh, kurikulum merupakan jantungnya pendidikan. Kurikulum merupakan seperangkat rancangan nilai, pengetahuan, dan keterampilan yang harus ditransfer kepada peserta didik dan bagaimana proses transfer tersebut harus dilaksanakan.

Disebut berdimensi jangka panjang karena proses-pendidikan adalah mempersiapkan manusia untuk dapat hidup layak di masa depan, suatu masa yang tidak mesti sama bahkan cenderung berbeda dengan masa kini. Berkaitan dengan kurikulum, dimensi jangka panjang ini memberikan pemahaman bahwa suatu kurikulum harus merupakan jembatan bagi peserta didik untuk dapat mengantarkan dari kehidupan masa kini ke kehidupan masa depan. Peserta didik yang berada di bangku sekolah dewasa ini dipersiapkan untuk dapat hidup secara layak dan bermanfaat baik bagi diri, keluarga dan masyarakatnya pada abad XXI. Oleh karena itu, muncul pertanyaan bagaimana sosok kurikulum pendidikan untuk abad XXI ?

A. Brain researchs

Suatu kurikulum pendidikan ditentukan oleh dua faktor dasar, yakni, faktor internal yang berupa pemahaman atas bagaimana sistem kerja otak, dan, faktor eksternal yang berupa kualifikasi dan kemampuan yang dibutuhkan oleh dunia kerja.

Pemahaman terhadap proses pendidikan dewasa ini didasarkan pada asumsi bahwa intelegensi merupakan ciri bawaan (heredity) yang bersifat statis. Asumsi ini didukung oleh hasil brain research kala itu sebagaimana dilaporkan oleh Eral Hunt (1995) yang antara lain menunjukkan bahwa: a) sistem kerja otak statis, b) penyebaran intelegensi sebagai kurva normal berbentuk be// shape, c) terdapat kemungkinan untuk menentukan secara spesifik berapa besar intelegensi yang diperlukan untuk mempelajari konsep dan skill tertentu di sekolah dan menguasai fungsi-fungsi vokasional yang diperlukan dalam kehidupan, d) tes standarisasi dapat dipergunakan untuk mengukur intelegensi seseorang dan memprediksi kemampuan yang akan dapat dicapai, dan, e) intelegensi terdiri dari kemampuan numeric dan fingual.

Implikasi dari hasil brain research ini adalah bahwa seseorang dalam belajar bersifat pasif, hanya mampu mempelajari sesuatu informasi secara bertahap poin demi poin, dalam praktek pendidikan siswa dijadikan objek yang bersifat pasif dalam menerima transmisi pengetahuan dari sumbernya, dan pemahaman komprehensif adalah strukturisasi pengetahuan dan terjadi lewat hapalan dari serpihan-serpihan informasi, serta proses pemahaman harus dikendalikan dari luar berupa sederetan aktivitas yang dilakukan oleh pengajar. Pendidikan merupakan proses penyampaian informasi tersebut dan menariknya kembali lewat tes-tes yang difokuskan pada komponen intelegensi yang statis dan penguasaan pengetahuan. Operasionalisasi dari ide ini adalah munculnya beberapa konsep dalam kurikulum, seperti a) pokok bahasan, b) sub-pokok bahasan, c) mata pelajaran requirement, d) mata pelajaran pokok, e) mata pelajaran pendukung, f) pengayaan, g) remedial, dan lain-lainnya.

Penelitian mutakhir sistem kerja otak sebagaimana diuraikan oleh Caineand Caine (1991) dalam bukunya Making connection: Teaching and human brain, menunjukkan bukti yang berbeda. Intelegensi ternyata bersifat dinamis dan dapat berkembang. Lebih daripada itu, intelegensi tidak hanya berkaitan dengan aspek cognitive semata, tetapi berkaitan pula dengan emosi, sehingga disebut dengan Emotion Intellegence yang disingkat EQ (sebagai pelengkap IQ). Bukti-bukti menunjukan bahwa dalam keberhasilan pendidikan seseorang peranan IQ hanya sekitar 20 %. Sisanya 80 % sebagian besar ditentukan oleh EQ dan faktor kedewasaan sosial. EQ adalah kemampuan seseorang untuk mengendalikan aspek-aspek psikologis dalam diri sendiri yang mencakup a) amarah, b) kesedihan, c) rasa takut, d) kenikmatan, e) cin+a, f) terkejut, g) jengkel, dan, h) malu. Kemampuan mengendalikan aspek psikologis diperlukan agar EQ ini bisa bekerja secara harmonis dengan IQ. Singkat kata, kalau EQ baik otak akan dapat bekerja dengan baik pula.

Emosi akan memberikan respon terhadap stimulus yang diterima secara sangat cepat, begitu cepatnya sehingga otak belum sempat bereaksi. Ketidakmampuan mengendalikan aspek-aspek psikologis tersebut (atau EQ di atas) menyebabkan perilaku seseorang tidak didasarkan oleh otak tetapi oleh emosi. Oleh karenanya, kemampuan mengendalikan aspek psikologis atau EQ ini perlu dilatih dan dikembangkan untuk menghasilkan respon-respon yang baik dan tepat.

Hasil-hasil penelitian sistem kerja otak mutakhir tersebut juga menunjukkan bahwa:

1. Pemahaman adalah merupakan hasil interaksi siswa dengan informasi dalam situasi spesifik.

2. Keahlian memerlukan pengalaman yang banyak dan analitik.

  1. Ingatan dan penggunaan apa yang diingat tersebut membutuhkan proses informasi yang mendalam yang ditentukan oleh kebermaknaan informasi tersebut.
  2. Intelegensi tidak hanya memiliki aspek cognitive (berwajah cognitive atau didominasi oleh aspek cognitive) tetapi memiliki multi aspek (banyak wajah). Howard Gardner, ahli psikologi Cognitive dari Harvard University, telah mengembangkan teori multiple abilities, talents, and skills. Teori lama yang hanya menekankan pendidikan pada dua kemampuan: verbal-linguistics dan logical-mathematical, sudah ketinggalan zaman. Terdapat berbagai kemampuan atau bakat yang dapat memperkaya dan memajukan kehidupan dalam merespon lingkungan secara efektif. Berbagai kemampuan tersebut antara lain:
  1. Kapasitas untuk memahami ruang dan bidang yang dapat dipergunakan untuk memahami berbagai keberadaan geografis, navigasi atau untuk mengembangkan persepsi seseorang. Dalam tingkat yang sederhana, adalah kemampuan untuk memahami berbagai bentuk-bentuk yang berkaitan.
  2. Bodily-kinesthetic ability untuk mengontrol gerakan dan perilaku tubuh seseorang dan menangani objek secara profesional.
  3. Musical-rhytmatical ability untuk menghasilkan atau mengapresiasi ritme, nada dan berbgai bentuk ekspresi musik.
  4. Interpersonal capacity untuk menanggapi secara tepat temperamen, moods, motivasi keinginan fihak lain.
  5. Intrapersonal knowledge dari perasaannya, kekuatan, kelemahan, keinginan serta kemampuan diri sendiri untuk mengambil kesimpulan sebagai petunjuk perilakunya sendiri.
  6. Logical-mathematical ability untuk menjabarkan sesuatu secara logis atau pola pengelompokan numerik, dan menangani hubungan panjang yang saling berkaitan.
  7. Verbal-Linguistics sensitivity atas suara, irama, makna kata dan sensitif terhadap berbagai fungsi bahasa.

Brain research memastikan bahwa pengalaman konkret, kompleks dan beraneka warna sangat esensial bagi proses belajar mengajar. Siswa perlu memahami secara baik pola-pola yang lebih besar sebab bagian-bagian senantiasa tertempel pada keutuhan, fakta senantiasa berada pada konteks yang beraneka warna, dan satu subjek pasti terkait dengan banyak isu dan subjek lain. Apa yang harus dikuasai oleh siswa adalah pemahaman yang bermakna. Otak diciptakan sebagai suatu pola detektor yang bekerja secara dinamis, dan memahami suatu subjek sebagai hasil dari pemahaman hubungan dari berbagai faktor.

Hal di atas tidak berarti bahwa teori dan sesuatu yang abstrak tidak perlu dipelajari, melainkan sebaliknya, dalam dunia yang berubah dengan cepat, semakin banyak teori, konsep, dan pemahaman dimiliki oleh seseorang, semakin besar kemampuan orang tersebut untuk mentransfer dan menjual skill yang dimiliki.

B. Pergeseran struktur tenaga kerja

Bagaimana dampak pergeseran struktur tenaga kerja terhadap pendidikan? Dunia kerja tetap saja harus menyediakan jutaan dollar untuk pelatihan, terutama untuk pelatihan dalam rangka meningkatkan high-level-cognitive dan technical skill yang diperlukan pada era industri informasi ini. Apa maknanya bagi dunia pendidikan? Dunia pendidikan harus berani mengevaluasi untuk menentukan seberapa besar materi yang ada sekarang ini yang perlu diberikan kepada peserta didik. Sekolah perlu mengurangi materi yang sekarang ini dan menambah materi-materi baru yang diperlukan oleh dunia industri di masa mendatang. Oleh karena itu, membangun jembatan antara sekolah dan dunia kerja harus merupakan program dari sekolah.

Pada abad XX dunia kerja ditandai dengan produksi massal dan terstandarisasi untuk menurunkan ongkos produksi. Proses produksi semacam ini bersifat mekanistis yang memerlukan tenaga kerja khusus namun kontrol tenaga kerja terbatas, sistem quality control jelas, dan proses produksi harus dijauhkan dari kemalasan tenaga kerja.

Namun proses produksi pada abad XXI berubah. Pasar dewasa ini bersifat fleksibel, harus dapat segera menanggapi perubahan, dan kerjasama .dalam menyusun ongkos merupakan kunci utama untuk dapat menang dalam persaingan. Oleh karena itu, organisasi dunia industri memerlukan a) integrasi dari semua bagian dari proses produksi seperti bagian perencanaan, mesin, pemasaran, proses produksi, dll., b) herarkis struktur organisasi yang mendatar, c) desentralisasi tanggung jawab, dan, d) lebih banyak melibatkan karyawan dalam pengambilan keputusan di segala jenjang. Sistem ini akan lebih responsif terhadap tuntutan dan kebutuhan perubahan, fleksibel, dan lebih memungkinkan untuk melaksanakan pembaharuan yang berlangsung secara terus menerus. Narnun, sistem ini memerlukan tenga kerja yang memiliki skiil yang berbeda-beda dan skiil yang lebih tinggi serta lebih terdidik. Persoalan yang muncul adalah: 1) Berapa besar konsekuensi dari perubahan tersebut? 2) Seberapa besar cakupan perubahan pada berbagai perusahaan pada dunia industri. 3) Sebarapa jauh perubahan tersebut akan terjadi secara permanen?

Pada masa awal perubahan, tetap saja lebih banyak pekerjaan yang memerlukan tenaga kerja dengan skill yang rendah, seperti dalam usaha rumah makan, warung kebutuhan sehari-hari dan kerja administrasi kantor, dan tipe pekerjaan tersebut akan merupakan pilihan utama bagi pencari

kerja untuk pertama kali. Namun dalam perkembangannya tahap demi tahap dunia kerja harus direstrukturisasi sehingga merupakan pekerjaan yang memerlukan kemampuan pekerja yang lebih tinggi.

Pendidikan tidak hanya mempersiapkan peserta didik untuk mampu bekerja pada satu jenis bidang yang relevan. Melainkan, pendidikan harus dapat mempersiapkan peserta didik untuk mampu memasuki berbagai bidang kerja. Sekolah Menengah Umum, di samping harus mampu mempersiapkan lulusan untuk memasuki dunia pendidikan tinggi, harus pula mampu mempersiapkan lulusan untuk siap memasuki pelatihan dari dunia kerja untuk memasuki berbagai bidang.

Namun, dibalik itu kita harus mencatat temuan hasil suatu penelitian. Dalam research cognitive, antropologi dan otak, sebagaimana dilaporkan oleh Raizen (1989) dalam Reforming education at work: A Cognitive science perspective, menunjukkan bahwa seseorang belajar secara berbeda lewat pengalaman dalam kehidupan dibandingkan pengalaman dari sekolah formal. Namun, meski hasil-hasil penelitian tersebut meyakinkan, apa yang terdapat dalam proses pendidikan formal tetap saja tidak pernah memperhitungkan atau mengabaikan pengalaman yang terjadi di luar sekolah. Hasilnya terdapat kesenjangan antara pengalaman di sekolah dan apa yang ada di masyarakat, antara lain sebagai berikut:

  1. Sekolah menekankan pada individual performance, sebaliknya apa yang terjadi di luar sekolah senantiasa menekankan socially shared performance.
  2. Sekolah menekankan pada pemikiran yang tidak memerlukan alat bantu, sebaliknya dunia kerja senantiasa memerlukan alat bantu.
  3. Sekolah senantiasa menekankan pada simbol-simbol yang terpisah dari objek, sebaliknya kehidupan dunia kerja menekankan pada upaya riil dalam menangani objek.
  4. Sekolah bertujuan untuk menyerap pengetahuan dan skill secara urnum, sebaliknya dunia kerja memfokuskan pada pengetahuan dan skill yang relevan dengan situasi tertentu.

C. Implikasi pendidikan jangka panjang

Hasil Brain research dan pergeseran struktur tenaga kerja tersebut di atas mengajarkan pada kita hal-hal sebagai berikut:

Pertama, pada diri siswa perlu dikembangkan kemampuan dasar, meliputi: a) basic skills, b) thinking skill, dan, c) personal skill. Basic skill antara lain membaca dan menginterpretasikan informasi, menulis dan mengembangkan informasi, matematik dan berhitung, mendengarkan, dan berbicara. Thinking skill terdiri dari: kreativitas, pengambilan keputusan, problem solving, visualizing, knowing hot to learn, dan, reasoning. Personal skill meliputi: kemampuan mengendalikan diri, tanggung jawab, self-esteem, sociability, self-management, dan integritas-kejujuran.

Kedua, kemampuan mengembangkan di tempat kerja, mencakup: a) kemampun untuk mengidentifikasi, mengorganisasi, merencanakan dan mengalokasi sumber-sumber, b) bekerjasama dengan orang lain (interpersonal skill), c) menguasai dan memanfaatkan informasi, d) memahami hubungan sosial, organisasi, dan teknologi yang kompleks (sistem) dan dapat bekerja sesuai dengan sistem serta menyempurnakan sistem yang ada, dan, e) bekerja dengan berbagai teknologi, termasuk pemilihan, aplikasi, perawatan dan memecahkan problem.

Ketiga, sistem pengelolaan penyampaian bahan pelajaran bercirikan sebagai berikut: a) penyajian materi bersifat tematik yang merupakan kombinasi beberapa pokok bahasan yang bersifat lintas bidang, b) pengajar merupakan team teaching bukan lagi individual, c) model cooperatiye learning sebagai pengganti individual learning, dan, d) outcome aspek afektif lebih jelas.

Lebih khusus, hasil-hasil penelitian sistem kerja otak dan pergeseran struktur tenaga kerja dalam jangka panjang memiliki implikasi terhadap proses belajar mengajar, sebagai berikut :

]

PERBEDAAN PROSES PEMBELAJARAN

MODEL LAMA DAN MODEL BARU

No

Aspek

Pemahaman Sistem Kerja Otak dan Struktur Kerja Lama

Pemahaman Sistem Kerja Otak dan Struktur Kerja Baru

1.

Penyajian Materi

Tersusun dalam pokok bahasan dan sub pokok bahasan

Tersusun dalam problem, tema dan terintegrasi

2.

Outcome

Aspek kognitif sangat menonjol, aspek afektif lemah

3.

Guru

Individual

Team Teaching

4.

Prosedur

Relatif rigid

Relatif fleksibel

5.

Sasaran

Pemahaman konsep

Pemahaman konsep, hubungan dan keterkaitan

6.

Pinsip-model Learning

Individual learning

Cooperative learning

7.

Sasaran evaluasi

Individu

Individu dan kelompok

8.

Pola belajar

Potongan demi potongan menjadi gambar

Kerangka untuk ditempel gambar

D. Implikasi dalam pendidikan jangka pendek

Berbagi kebijakan dan inovasi pendidikan dewasa ini, sadar atau tidak, lebih banyak ditujukan sebagai konsumsi para siswa yang memiliki IQ relatif tinggi. Sebut saja sebagai contoh pembaharuan kurikulum dan diperkenalkannya matematika modern lebih menguntungkan mereka para siswa yang memiliki otak relatif encer. Ditambah lagi dengan sistem pengajaran yang bersifat klasikal tanpa membedakan perbedaan individu menyebabkan anak yang berotak encer akan semakin pandai, sebaliknya anak yang berotak relatif bebal akan tetap ketinggalan. Sedangkan, fakta menunjukkan siswa yang memiliki otak relatif encer paling tinggi hanya sekitar 10%. Dengan kata lain, kebijakan dan pembaharuan pendidikan yang dilaksanakan hanya menguntungkan bagi 10% siswa terpandai.

Temuan-temuan penelitian otak (brain research) mutakhir seperti yang diungkapkan oleh Goleman dalam buku ’Emotion Intelfigence’, memberikan kemungkinan dikembangkannya kebijakan yang dapat meningkatkan keberhasilan pendidikan 90% siswa yang memiliki intelegensi biasa-biasa atau malah relatif lemah. Artinya, sangat dimungkinkan kemampuan EQ dikembangkan, sehingga meski IQ tidak terlalu tinggi siswa akan berhasil dalam pendidikannya.

Apakah emosi itu? Emosi menurut Goleman, adalah "suatu perasaan dan pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Ada ratusan emosi, bersama dengan campuran, variasi, mutasi dan nuansanya." EQ, merupakan kemampuan untuk mengendalikan, mengorganisir dan mempergunakan emosi ke arah kegiatan yang mendatangkan hasil optimal. Dengan emosi yang dikendalikan akan merupakan dasar bagi otak untuk dapat berfungsi dengan baik.

Penjabaran emosi seringkali muncul dalam berbagai bentuk. Antara lain, marah, ketakutan, perasaan senang, cinta, kesedihan, kenikmatan, keterkejutan, kejengkelan, dan malu. Emosi tersebut tidak statis tetapi berkembang sejalan dengan perkembangan usia seseorang. Semakin dewasa emosi yang dimiliki akan semakin matang. Namun, kedewasaan emosi juga bisa berkembang sebagai hasil interaksi dengan lingkungan, baik interaksi tersebut disengaja oleh fihak lain ataupun tidak. Dengan demikian, guru bisa berperan sebagai faktor lingkungan. Secara sadar ataupun tidak, baik direncanakan ataupun tidak perilaku mengajar guru di kelas mempengaruhi perkembangan emosi siswa. Oleh karena itu, pemahaman baru tentang kerja otak mengajarkan pada kita yang bergerak di dunia pendidikan, bahwa selain melakukan transfer ilmu pengetahuan dan teknologi yang meningkatkan kemampuan otak siswa, para pendidik, khususnya guru harus pula memiliki program aksi untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam mengendalikan emosi. Keberhasilan guru mengembangkan kemampuan siswa mengendalikan emosi akan menghasilkan perilaku siswa yang baik. Jadi, terdapat dua keuntungan kalau sekolah berhasil mengembangkan kemampuan siswa dalam mengendalikan emosi. Pertama, emosi yang terkendali akan memberikan dasar bagi otak untuk dapat berfungsi secara optimal. Kedua, emosi yang terkendali akan menghasilkan perilaku yang baik.

Namun, perkembangan emosi siswa banyak dipengaruhi dengan proses yang terjadi di luar sekolah, terutama di lingkungan keluarga. Oleh karena itu, dalam upaya sekolah mengembangkan kemampuan siswa mengendalikan emosi, guru harus senantiasa melakukan komunikasi dengan orang tua siswa. Tidak jarang, siswa tidak memiliki rasa memiliki keluarga, artinya, mereka ini tidak merasa aman dan nikmat di lingkungan keluarga. Dalam kasus ini peran sekolah yang penting.

Upaya sekolah mengembangkan kemampuan siswa mengendalikan emosi didasarkan pada tiga hal:

Pertama, sekolah harus mampu menciptakan rasa aman bagi para siswa:

  1. Atmosfir kelas yang demokratis
  2. Guru memahami kondisi siswa.

Kedua, sekolah harus mampu menciptakan self-efficcy pada diri siswa, yakni rasa bahwa ia memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas-tugas sekolah. Langkah yang dapat dilakukan, antara lain:

  1. Guru harus menghindari dari menyalahkan siswa. Untuk mengatakan bahwa siswa salah harus diusahakan sedemikian rupa sehingga tidak membikin siswa malu.
  2. Guru menghindarkan diri dari perilaku mengejek siswa yang dapat merendahkan mental yang bersangkutan.
  3. Guru lebih banyak mempersilakan siswa secara sukarela (voluntir) menjawab pertanyaan atau soal. Kalau menunjuk siswa, guru perlu menghindarkan diri dari menyuruh siswa untuk menjawab pertanyaan atau soal, yang guru sendiri sudah memiliki pandangan bahwa siswa tersebut tidak akan bisa menjawab.
  4. Sekolah harus memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengekspresikan emosinya daripada membendung dan menumpas emosi siswa. Olah raga dan kegiatan kesenian merupakan saluran yang paling baik untuk menyalurkan emosi siswa.
  5. Guru harus bersedia dikritik oleh siswa tanpa menunjukkan rasa marah atau jengkel. Siswa akan memiliki kemampuan untuk mengendalikan emosi apabila para guru terlebih dahulu memiliki hal yang sama.

Pergeseran struktur tenaga kerja, memiliki implikasi dalam perspektif jangka pendek, antara lain sebagai berikut:

  1. Sekolah dan Guru harus mulai memperbanyak tugas-tugas yang harus dikerjakan secara kelompok, dengan tujuan meningkatkan kemampuan siswa bekerjasama dalam kelompok.
  2. Sekolah dan guru harus senantiasa mengembangkan kaitan antara apa yang dipelajari di sekolah dan kehidupan riil di masyarakat.
  3. Siswa dibiasakan dan dilatih untuk mencermati apa yang terjadi di lingkungannya, serta menyusun laporan sebagai hasil pengamatan tersebut.
  4. Semenjak dini siswa sudah dibiasakan dengan tugas-tugas yang memiliki dampak positif bagi masyarakatnya. Misal, kerja bakti, siswa mengajar anak yang lebih muda.

Ketiga, sekolah harus dapat membantu siswa dalam menyalurkan emosi lewat kegiatan yang positif dan konstruktif.

3.5. Kebersamaan dalam Belajar untuk Menghilangkan Ketimpangan

A. Ketimpangan dalam pendidikan

Kesenjangan sosial merupakan fenomena masyarakat yang bersifat global, terjadi baik di negara maju ataupun terbelakang. Bahkan proses integrasi ekonomi global cenderung akan mempertajam perbedaan kelompok kaya dan kelompok miskin. Lembaga studi di Amerika Serikat, misalnya, Institute for Policy Study sebagaimana dimuat pada Herald Tribune, 24 Januari 1997, mengemukakan bahwa ekonomi global akan menciptakan kesenjangan antara kelompok kaya dan kelompok miskin yang luar biasa. Diramalkan bahwa kekayaan dari 447 orang terkaya di dunia akan lebih besar daripada pendapatan penduduk miskin yang mencakup sekitar separo jumlah penduduk dunia, dan dua pertiga penduduk dunia akan mengalami proses pemiskinan. Di bidang tenaga kerja, 200 industri terkemuka dunia akan menguasai sekitar 28% kegiatan ekonomi dunia, tetapi hanya menyerap 1% dari tenaga kerja global dengan gaji yang relatif rendah. Bagi negara sedang berkembang, seperti di Indonesia, kesenjangan sosial bisa merupakan ancaman keamanan nasional sebab ketimpangan sosial ini akan berakumulasi dan bersinergi dengan berbagai persoalan masyarakat yang kompleks. Ujung-ujungnya, persoalan ketimpangan sosial ekonomi tersebut akan mengganggu proses pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, kesenjangan sosial tidak hanya perlu dijadikan topik pembahasan di berbagai seminar tetapi perlu untuk dicari pemecahannya secara jernih.

Merupakan sesuatu yang jamak, bahwa bangsa yang menghadapi problem akan menengok kepada pendidikan. Peran apakah yang dapat dilakukan oleh lembaga pendidikan untuk memecahkan persoalan kesenjangan sosial tersebut? Namun, ternyata pendidikan sendiri tidak bebas dari ketimpangan sosial. Malahan banyak paedagog atau sosiolog, seperti Randall Collins dalam The Credentiai Society: An Historical Sosiology of Education and Stratafication, mengemukakan bukti-bukti bahwa justru pendidikan formal merupakan awal dari proses stratafikasi sosial itu sendiri. Di Indonesia tesis ini didukung dengan adanya pola perjalanan sekolah anak yang berbeda dari kalangan keluarga mampu dan miskin. Anak dari kalangan berada memiliki kesempatan yang lebih luas untuk memasuki sekolah yang baik semenjak dari TK sampai jurusan-jurusan pilihan di universitas pilihan. Sebaliknya, sebagian besar anak dari golongan masyarakat yang tidak mampu harus menerima kenyataan bahwa mereka harus rela memasuki sekolah yang tidak berkualitas sepanjang masa sekolahnya.

Tidak jarang sekolah yang jelek yang berada di kota-kota, lebih khusus lagi di kota-kota besar cenderung akrab dengan kemiskinan dan keterbelakangan. Di samping itu lingkungan sekolah yang tidak berkualitas cenderung memunculkan kekerasan. Anak-anak dari keluarga miskin yang berada di sekolah-sekolah yang "tidak bermutu" sadar bahwa mereka tidak akan mampu bersaing dengan anak-anak dari sekolah yang "bermutu" yang kebanyakan datang dari keluarga mampu. Mereka, sejak dini sudah dipaksa memendam dendam yang tidak pernah terekspresikan. Oleh karena itu, tidak mengherankan anak-anak yang lahir dari kelompok miskin cenderung menjadi penganggur, lingkungan fisik dan psikis tergencet serta dibayangi dengan tindak kejahatan. Hal ini acapkali menjadikan anak memiliki emosi yang tidak stabil, mudah marah, agresif dan frustasi, dan gampang terkena provokasi.

Latar belakang keluarga yang didominasi oleh kemiskinan ini menjadikan mereka yang semula menganggap sekolah sebagai surga, ternata mengalami kenyataan yang berbeda. Di sekolah mereka sering menemui kenyataan betapa sulit untuk menjadikan guru sebagai panutan dan sekaligus pengayom. Interaksi di sekolah justru semakin menjadikan mereka frustrasi. Sekolah tidak memberikan kesempatan mereka untuk mengekspresikan diri mereka sendiri. Keadaan bertambah buruk manakala banyak guru dapat dikatakan tidak mampu lagi menciptakan hubungan yang bermakna dengan para siswa dengan baik. Hal ini dikarenakan beban kurikulum yang terlalu sarat di samping kondisi sosial ekonomi menyebabkan guru tidak dapat berkonsentrasi dan melakukan refleksi dalam melaksanakan pengabdian profesionalnya. Tanpa ada kontak yang bermakna dan berkesinambungan antara guru dan siswa, guru tidak akan mampu mengembangkan wawasan siswa mengenai perilaku masa kini demi keberhasilan di masa depan.

B. Dimensi ketimpangan

Dimensi ketimpangan sosial di sekolah sesungguhnya tidak serumit yang terjadi di masyarakat luas. Mark Griffin dan Margaret Batten, peneliti pendidikan berkebangsaan Australia, dalam bukunya 'Equity in Schools: An independent Perspective', mengemukakan dua aspek penting dalam mengkaji ketimpangan di dunia pendidikan. Pertama ujud ketimpangan, yang dapat terjadi dalam ujud input, yakni kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas, atau ketimpangan dalam ujud output atau hasil pendidikan. Kedua, ukuran ketimpangan, yang dapat diukur pada level individu atau ketimpangan pada level kelompok, seperti kelompok siswa kaya dan miskin, kelompok siswa berasal dari desa dan dari kota, kelompok siswa laki-laki dan siswa pe rempuan. Apa yang dikernukakan oleh kedua peneliti pendidikan tersebut amat penting untuk merencanakan intervensi lewat kebijakan pendidikan guna mengatasi problem ketimpangan pendidikan.

Aspek ketimpangan dalam ujud output pendidikan dipusatkan pada kualitas lulusan baik dalam arti nilai akhir ujian seperti NEM ataupun dalam arti kualitas kemampuan lulusan. Dimensi tersebut dapat dianalisis pada level mikro individual atau dalam level makro atau kelompok. Intern suatu sekolah dapat diketemukan perbedaan prestasi antar siswa yang erat berkaitan dengan latar belakang status sosial masing-masing individu. Tetapi di samping itu, perbedaan diketemukan dalam perbandingn antar kelompok, baik intern satu sekolah maupun antar sekolah. Sekali lagi perbedaan tersebut erat berkaitan dengan status sosial ekonomi kelompok yang bersangkutan.

James Coleman dalam 'Equality of educational opportunity' merupakan sosiolog yang telah membuktikan adanya realitas ketimpangan output pendidikan dalam kaitan dengan ketimpangan input pada level kelompok di Amerika Serikat. Namun, hanya sekitar 10% varian ketimpangan output yang dapat dijelaskan oleh ketimpangan input. Artinya, ketersediaan fasilitas pendidikan, rasio guru-siswa, kualitas guru, hanya memberikan kontribusi kecil dalam menimbulkan ketimpangan output.

Sedangkan Frederick Jenck dalam laporan penelitian Inequity in Education membuktikan ketimpangan output pendidikan dengan menggunakan pada level individual. Namun, kajian ketimpangan pendidikan yang didasarkan pada output pendidikan dikritik keras oleh John Keevess, lewat artikelnya Equitable Opportunities in Australian education, sebab pendekatan output menjadikan ketimpangan pendidikan sebagai sesuatu yang tidak mungkin dipecahkan dan upaya mengatasi ketimpangan lebih tepat disebut sebagai suatu ilusi.

Sebaliknya, pendekatan input lebih praktis dan lebih operasional. Pendekatan ini melihat adanya ketimpangan pendidikan dalam ujud bahwa siswa mendapatkan kesempatan untuk menikmati fasilitas pendidikan yang tidak sama. Perbedaan ini bisa berupa kualitas guru, prasarana dan fasilitas pendidikan, dan sebagainya. Ketimpangan pendidikan dalam kesempatan untuk mendapatkan fasilitas pendidikan dapat dianalisis pada level individu ataupun kelompok. Ketimpangan input dan proses ini lebih mudah diatasi dengan menyediakan fasilitas yang diperlukan. Perbedaan antar individu dalam suatu sekolah dapat diatasi, misalnya, dengan penyediaan fasilitas buku sehingga setiap siswa bisa menggunakan satu buku. Tetapi, pengalaman di banyak negara sedang berkembang termasuk di Indonesia menunjukkan bahwa kualitas input tidak selamanya akan meningkatkan output pendidikan, sebagaimana disimpulkan oleh Coleman di atas. Sebab, dibalik kesamaan fisik yang diperoleh oleh masing-masing individu muncul pertanyaan apakah siswa dengan latar belakang sosial ekonomi tinggi mendapatkan pelayanan yang sama dengan siswa yang berasal dari keluarga miskin? Apakah guru benar-benar dapat berperilaku adil terhadap semua siswa tanpa melihat latar belakang mereka?

Dengan mendasarkan pada dua dimensi di atas, ketimpangan sekolah dapat dikelompokkan dalam empat varian: a) ketimpangan dalam ujud input dalam ukuran individual, b) ketimpangan dalam ujud input dalam ukuran kelompok, c) ketimpangan dalam ujud output dalam ukuran individual, dan, d) ketimpangan dalam ujud output dalam ukuran kelompok. Pemecahan permasalahan ketimpangan masing-masing kelompok memerlukan kebijakan intervensi yang berbeda.

C. Cooperative learning

Proses sekolah dewasa ini senantiasa menekankan pengembangan siswa sebagai individu, sekolah tidak pernah mengembangkan siswa secara bersama sebagai suatu kelompok. Mulai dari tugas-tugas harian, tanya jawab dan diskusi di kelas sampai evaluasi akhir hasil studi, semua itu merupakan tugas invidual. Dalam persaingan untuk mencapai prestasi di antara siswa ini sekolah sama sekali tidak menanamkan semangat kerjasama dan solidaritas sosial. Layaknya pada persaingan bebas di dunia ekonomi siapa yang kuat akan berkembang, demikian pula di dunia pendidikan. Panekanan pada pengembangan siswa secara individual menyebabkan kesenjangan hasil pendidikan. Ditambah lagi, setiap pembaharuan pendidikan pada umumnya senantiasa menguntungkan siswa yang relatif mampu dan berdomisili di kota-kota, sehingga kesenjangan pendidikan semakin tajam. Sebagai contoh, pengenalan matematika modern menyebabkan kesenjangan prestasi siswa baik pada level individual maupun level kelompok semakin menganga.

Sejalan dengan perlunya dikembangkan solidaritas sosial di kalangan siswa, pendekatan individu dalam dunia pendidikan perlu diimbangi dengan pendekatan yang berbasis kerjasama, kebersamaan dan kolaborasi untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam kerjasama, dan kemampuan bernegosiasi, berkomunikasi serta kemampuan untuk mengambil keputusan. Salah satu pendekatan dalam proses belajar mengajar yang berbasis kelompok adalah Cooperative Learning. Kebersamaan dan kerjasama dalam pembelajaran merupakan kerjasama di antara para siswa untuk mencapai tujuan belajar bersama. Di samping tujuan bersama yang akan dicapai, kebersamaan dan kerjasama dalam pembelajaran ini juga diarahkan untuk mengembangkan kemampuan kerjasama di antara para siswa. Dengan pendekatan ini, guru tidak selalu memberikan tugas-tugas secara individual, melainkan secara kelompok. Bahkan penentuan hasil evaluasi akhirpun menggunakan prinsip kelompok. Artinya, hasil individu siswa tidak hanya didasarkan kemampuan masing-masing, tetapi juga dilihat berdasarkan hasil prestasi kelompok. Dengan demikian, siswa yang pandai akan menjadi tutor membantu siswa yang kurang pandai demi prestasi kelompok sebagai satu kesatuan. Setiap siswa tidak hanya bertanggung jawab atas kemajuan dan keberhasilan dirinya, tetapi juga bertanggung jawab atas keberhasilan dan kemajuan kelompoknya.

Berbagai hasil penelitian menyimpulkan manfaat Cooperative teaming. Robert E. Slavin dan Nancy A. Madden, dalam hasil penelitian tentang "School Practices That improve Race Relations" yang dimuat pada American Educational Research Journal menyatakan: dibandingkan dengan model pembelajaran yang lain. Cooperative learning dalam pembelajaran menghasilkan prestasi akademik yang lebih tinggi untuk seluruh siswa, kemampuan lebih baik untuk melakukan hubungan sosial, meningkatkan rasa percaya diri, serta mampu mengembangkan saling kepercayaan sesamanya, baik secara individual maupun kelompok. Secara lebih terperinci hasil penelitian tersebut mengemukakan bahwa bukannya pelatihan guru, buku-buku civics, sejarah, dan diskusi-diskusi di kelas yang mempengaruhi sikap dan perilaku sosial siswa, melainkan tugas-tugas yang diberikan secara kelompok yang secara meyakinkan telah berhasil mengembangkan hubungan, sikap dan perilaku sosial siswa.

Dengan kata lain, apabila guru melaksanakan proses belajar mengajar dengan mempergunakan Cooperative Learning, berarti guru tersebut sudah berperan dalam mengurangi kesenjangan pendidikan khususnya dalam ujud output pada level individual. Di samping itu, berkembangnya kesetiakawanan dan solidaritas sosial di kalangan siswa pada gilirannya akan dapat mengurangi ketimpangan dalam ujud input pada level individual. Demikian pula dapat diharapkan kelak akan muncul generasi baru yang di samping memiliki prestasi akademik yang cemerlang, juga memiliki kesetiakawanan dan solidaritas sosial yang kuat.

Intervensi untuk mengurangi ketimpangan sosial harus dimulai dari lembaga pendidikan. Cooperative Learning merupakan suatu kebijakan dalam proses belajar mengajar yang memiliki prospek yang cerah untuk menciptakan equity di dunia pendidikan. Dengan Cooperative Learning ini pula pada hakekatnya merupakan upaya untuk menempatkan proses pendidikan pada rel yang sebenarnya, yakni menghasilkan manusia yang ber-''otak" dan ber-''hati".

3.6. Kultur Sekolah dan Prestasi Siswa

Dengan dana yang tidak sedikit telah banyak dilaksanakan berbagai upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan, seperti penyelenggaraan penataran guru, penyediaan buku teks siswa, dan pengadaan alat-alat laboratorium. Namun demikian, kualitas sekolah dari sekolah dasar sampai sekolah menengah tidak mengalami kenaikan yang berarti. Hal ini, sudah barang tentu, menimbulkan tanda tanya besar: Dimana letak permasalahannya?

Untuk memberikan jawaban hipotetis atas persoalan tersebut, nampaknya hasil kajian Hanushek atas berbagai laporan penelitian pendidikan di negara-negara sedang berkembang patut diperhatikan. Hanushek menyimpulkan "bahwa upaya meningkatkan kualitas pendidikan adalah tidak semudah yang diduga. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pendekatan "konvensional" dalam meningkatkan mutu dengan menyediakan dana meningkatkan kualitas serta kuantitas variabel input, seperti pelatihan guru, penyediaan buku teks, penyediaan fasilitas pendidikan yang lain, tidaklah menghasilkan sebagaimana yang diinginkan". Oleh karena itu, agar mutu meningkat, selain dilakukan secara konvensional sebagaimana selama ini telah dilaksanakan perlu diiringi pula dengan pendekatan in-konvensional.

A. Kultur sekolah

Sekolah sebagai suatu sistem memiliki tiga aspek pokok yang sangat berkaitan erat dengan mutu sekolah, yakni: proses belajar mengajar, kepemimpinan dan manajemen sekolah, serta kultur sekolah. Program aksi untuk peningkatan mutu sekolah secara konvensional senantiasa menekankan pada aspek pertama, yakni meningkatkan mutu proses belajar mengajar, sedikit menyentuh aspek kepemimpinan dan manajemen sekolah, dan sama sekali tidak pernah menyentuh aspek kultur sekolah. Sudah barang tentu pilihan tersebut tidak terlalu salah, karena aspek itulah yang paling dekat dengan prestasi siswa. Namun, sejauh ini bukti-bukti telah menunjukkan, sebagaimana dikemukakan oleh Hanushek di atas, bahwa sasaran peningkatan kualitas pada aspek PBM saja tidak cukup. Dengan kata lain perlu dikaji untuk melakukan pendekatan in-konvensional yakni, meningkatkan mutu dengan sasaran mengembangkan kultur sekolah.

Kultur merupakan pandangan hidup yang diakui bersama oleh suatu kelompok masyarakat, yang mencakup cara berfikir, perilaku, sikap, nilai yang tercermin baik dalam ujud fisik maupun abstrak. Kultur ini juga dapat dilihat sebagai suatu perilaku, nilai-nilai, sikap hidup, dan cara hidup untuk melakukan penyesuaian dengan lingkungan, dan sekaligus cara untuk memandang persoalan dan memecahkannya. Oleh karena itu, suatu kultur secara alami akan diwariskan oleh satu generasi kepada generasi berikutnya. Sekolah merupakan lembaga utama yang yang didesain untuk memperlancar proses transmisi kultural antar generasi tersebut.

Dalam dunia pendidikan, semula kultur suatu bangsa (bukan kultur sekolah) yang diduga sebagai faktor yang paling menentukan kualitas sekolah. Tetapi berbagai penelitian menemukan bahwa pengaruh kultur bangsa terhadap prestasi pendidikan tidak sebesar yang diduga selama ini. Bukti terakhir, hasil TIMSS (The Third international Math and Science Study) menunjukkan bahwa siswa dari Jepang, dan Belgia sama-sama menempati pada rangking atas untuk mata pelajaran matematik, padahal kultur negara-negara tersebut berbeda. Oleh karena itu, para peneliti pendidikan lebih memfokuskan pada kultur sekolah, bukannya kultur masyarakat secara umum, sebagai salah satu faktor penentu kualitas sekolah. Tesis ini sesuai dengan temuan-temuan mutakhir penelitian di bidang pendidikan yang menekankan bahwa "faktor penentu kualitas pendidikan tidak hanya dalam ujud fisik, seperti keberadaan guru yang berkualitas, kelengkapan peralatan laboratorium dan buku perpustakaan, tetapi juga dalam ujud non-fisik, yakni berupa kultur sekolah".

Konsep kultur di dunia pendidikan berasal dari kultur tempat kerja di dunia industri, yakni merupakan situasi yang akan memberikan landasan dan arah untuk berlangsungnya suatu proses pembelajaran secara efisien dan efektif. Salah satu ilmuwan yang memberikan sumbangan penting dalam hal ini adalah Antropolog Clifford Geertz yang mendefinisikan kultur sebagai suatu pola pemahaman terhadap fenomena sosial, yang terekspresikan secara eksplisit maupun implisit. Berdasarkan pengertian kultur menurut Clifford Geertz tersebut di atas, kultur sekolah dapat dideskripsikan sebagai pola nilai-nilai, norma-norma, sikap, ritual, mitos dan kebiasaan-kebiasaan yang dibentuk dalam perjalanan panjang sekolah. Kultur sekolah tersebut sekarang ini dipegang bersama baik oleh kepala sekolah, guru, staf administrasi maupun siswa, sebagai dasar mereka dalam memahami dan memecahkan berbagai persoalan yang muncul di sekolah.

Pengaruh kultur sekolah atas prestasi siswa di Amerika Serikat telah dibuktikan lewat penelitian empiris. Kultur yang "sehat" memiliki korelasi yang tinggi dengan a) prestasi dan motivasi siswa untuk berprestasi, b) sikap dan motivsi kerja guru, dan, c) produktivitas dan kepuasan kerja guru. Namun demikian, analisis kultur sekolah harus dilihat sebagai bagian suatu kesatuan sekolah yang utuh. Artinya, sesuatu yang ada pada suatu kultur sekolah hanya dapat dilihat dan dijelaskan dalam kaitan dengan aspek yang lain, seperti, a) rangsangan untuk berprestasi, b) penghargaan yang tinggi terhadap prestasi, c) komunitas sekolah yang tertib, d) pemahaman tujuan sekolah, e) ideologi organisasi yang kuat, f) partisipasi orang tua siswa, g) kepemimpinan kepala sekolah, dan, h) hubungan akrab di antara guru. Dengan kata lain, dampak kultur sekolah terhadap prestasi siswa meskipun sangat kuat tetapi tidaklah bersifat langsung, melainkan lewat berbagai variabel, antara lain seperti semangat kerja keras dan kemauan untuk berprestasi.

Di Indonesia belum banyak diungkap penelitian yang menyangkut kultur sekolah dalam kaitannya dengan prestasi siswa. Tetapi mengingat bahwa sekolah sebagai suatu sistem di manapun berada adalah relatif sama, maka hasil penelitian di Amerika Serikat tersebut perlu mendapatkan perhatian, paling tidak dapat dijadikan jawaban hipotetis bagi persoalan pendidikan kita.

B. Faktor pembentuk kultur sekolah

Nilai, moral, sikap dan perilaku siswa tumbuh berkembang selama waktu di sekolah, dan perkembangan mereka tidak dapat dihindarkan yang dipengaruhi oleh struktur dan kultur sekolah, serta oleh interaksi mereka dengan aspek-aspek dan komponen yang ada di sekolah, seperti kepala sekolah, guru, materi pelajaran dan antar siswa sendiri. Aturan sekolah yang ketat berlebihan dan ritual sekolah yang membosankan tidak jarang menimbulkan konflik baik antar siswa maupun antara sekolah dan siswa. Sebab aturan dan ritual sekolah tersebut tidak selamanya dapat diterima oleh siswa. Aturan dan ritual yang oleh siswa diyakini tidak mendatangkan kebaikan bagi mereka, tetapi tetap dipaksakan akan menjadikan sekolah tidak memberikan tempat bagi siswa untuk menjadi dirinya.

Di Amerika Serikat pernah dilakukan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya kultur sekolah ini. Ann Bradley dalam 'Hardly Working' mengemukakan hasil penelitian tersebut. Penelitian yang mencakup 1.000 siswa di New York City menunjukkan bahwa para siswa tidak bekerja keras dan mereka menyatakan kalau dia mau dia akan dapat mencapai nilai yang lebih baik; mereka tidak menghendaki ikut tes karena hanya akan membikin mereka harus belajar lebih banyak. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa siswa tidak khawatir dengan nilai rapor yang jelek, dan hanya beberapa siswa yang selalu mengerjakan PR. Sekitar 60% menyatakan mereka malas belajar dikarenakan guru yang tidak menarik dan tidak antusias dalam mengajar, serta tidak menguasai materi. Di samping itu sebagian besar responden menyatakan bahwa sekolah tidak disiplin dalam melaksanakan proses belajar mengajar, sekitar 80% mau belajar keras kalau semua proses belajar di sekolah berjalan secara tepat sebagaimana jadwal yang telah ditentukan. Sebagian siswa yang lain mengeluh karena guru sering melecehkan mereka dan tidak memperlakukan mereka sebagai anak yang dewasa melainkan memperlakukan mereka sebagai anak kecil. Oleh karena itu sebagai balasan mereka juga tidak menghargai guru. Temuan yang penting lagi adalah ternyata para siswa yakin dengan belajar sebagaimana sekarang ini saja mereka akan lulus mendapatkan diploma dan diploma merupakan sesuatu yang penting, tetapi tidak diperlakukan sebagai simbol ilmu yang telah dikuasai.

C. Peran kepala sekolah

Kepala sekolah harus memahami kultur sekolah yang ada sekarang ini, dan menyadari bahwa hal itu tidak lepas dari struktur dan pola kepemimpinannya. Perubahan kultur yang lebih "sehat" harus dimulai dari kepemimpinan kepala sekolah. Kepala sekolah harus mengembangkan kepemimpinan berdasarkan dialog, saling perhatian dan pengertian satu dengan yang lain. Biarlah guru, staf administrasi bahkan siswa menyampaikan pandangannya tentang kultur sekolah yang ada dewasa ini, mana segi positif dan mana negatif, khususnya berkaitan dengan kepemimpinan kepala sekoloh, struktur organisasi, nilai-nilai dan norma-norma, kepuasan terhadap kelas, dan produktivitas sekolah. Pandangan ini sangat penting artinya bagi upaya untuk merubah kultur sekolah.

Kultur sekolah ini berkaitan erat dengan visi yang dimiliki oleh kepala sekolah tentang masa depan sekolah. Kepala sekolah yang memiliki visi untuk menghadapi tantangan sekolah di masa depan akan lebih sukses dalam membangun kultur sekolah. Untuk membangun visi sekolah ini, perlu kolaborasi antara kepala sekolah, guru, orang tua, staf administrasi dan tenaga profesional. Kultur sekolah akan baik apabila: a) kepala dapat berperan sebagai model, b) mampu membangun tim kerjasama, c) belajar dari guru, staf, dan siswa, dan, d) harus memahami kebiasaan yang baik untuk terus dikembangkan. Kepala sekolah dan guru harus mampu memahami lingkungan sekolah yang spesifik tersebut. Karena, akan memberikan perspektif dan kerangka dasar untuk melihat, memahami dan memecahkan berbagai problem yang terjadi di sekolah. Dengan dapat memahami permasalahan yang kompleks sebagai suatu kesatuan secara mendalam, kepala sekolah dan guru akan memiliki nilai-nilai dan sikap yang amat diperlukan dalam menjaga dan memberikan lingkungan yang kondusif bagi berlangsungnya proses pendidikan.

3.7. Hasil Pendidikan yang Utuh

Kebijakan yang baik untuk problem yang tidak benar bagaikan memberikan obat yang mujarab untuk penyakit yang keliru: Hasilnya akan sia-sia. Perumpamaan ini relevan bagi dunia pendidikan dewasa ini. Sesungguhnya persoalan pendidikan kita dewasa ini bukannya semata kemampuan penguasaan materi pelajaran siswa rendah sebagaimana ditunjukkan oleh NEM yang rendah, melainkan juga terjadinya degradasi pendidikan. Artinya untuk melakukan pekerjaan yang sama dewasa ini diperlukan latar belakang pendidikan yang lebih tinggi. Sebagai contoh, untuk menjadi Prajurit Tamtama ABRI diperlukan ijazah SMU, sedangkan pada masa lampau cukup dengan ijazah SD. Sudah barang tentu akan sangat naif apabila kemudian menyimpulkan bahwa lulusan SD sekarang lebih rendah dibandingkan dengan lulusan SD masa lampau. Kemajuan masyarakatlah yang menuntut kualifikasi pendidikan yang lebih tinggi. Untuk itu, betapapun kualitas NEM ditingkatkan tetap saja akan terjadi problem pendidikan dalam masyarakat. Sebab, hakekat persoalannya bukan di situ. Persoalan pendidikan kita yang mendasar adalah bagaimana melakukan peningkatan mutu dalam kerangka reformasi pendidikan sesuai dengan kebutuhan zamannya, yakni era globalisasi dengan segala kecepatan perubahan yang terjadi di segala aspek kehidupan masyarakat.

A. Basic skills

Fenomena terjadinya degradasi pendidikan bukanlah hanya di negeri kita atau negara sedang berkembang yang lain. Dua guru besar ekonomi, Richard J. Murname dari Harvard University dan Frank Levy dari MIT telah melakukan studi yang mendalam di Honda of American Manufacturing (HAM) dan di Industri Motorola. Hasil kajian keduanya sebagaimana yang dimuat dalam bukunya 'Teaching The New Basic Skills' (1996), antara lain membuktikan bahwa meskipun di Amerika Serikat kemampuan rata-rata matematik telah meningkat dari skor 219 pada tahun 1982 menjadi 230 pada tahun 1992 untuk anak usia 9 tahun dan dari skor 289 pada tahun 1982 menjadi 307 pada tahun 1992 untuk anak usia 17 tahun, tetap saja terjadi fenomena degradasi ijazah sebagaimana dikemukakan di atas. Akibat degradasi ijazah ini mengakibatkan penurunan gaji yang diperoleh lulusan SMA pada masa kini dibandingkan dengan lulusan SMA pada masa lampau. Kalau pada tahun 1979 lulusan SMA dengan memiliki pengalaman kerja sekitar 10 tahun memperoleh gaji 27.500 dollar, maka pada tahun 1993 lulusan SMA dengan pengalaman kerja 10 tahun hanya memperoleh gaji 20.000 dollar. Inti dari studi ini menekankan betapapun prestasi siswa ditingkatkan tetap saja akan muncul problem, sebab persoalan utama adalah dunia ekonomi mengalami kemajuan yang pesat, sedangkan di fihak lain dunia pendidikan bergerak maju sangat lambat.

Sejalan dengan itu, bagi kedua ekonom tersebut, kebijakan yang diperlukan adalah bagaimana mempercepat kemajuan dunia pendidikan dalam arti yang utuh dan hakiki, lewat reformasi pendidikan yang mendasar sehingga memungkinkaan pendidikan berkembang dengan cepat, tidak sekedar meningkatkan kemampuan daya serap materi pelajaran sebagaimana ditunjukkan dengan skor hasil tes.

Dengan mengacu perkembangan ekonomi dan masyarakat yang cepat dan kemampuan tenaga kerja yang diperlukan, menurut Murname dan Levy, reformasi yang diperlukan di dunia pendidikan adalah menetapkan skill dasar yang harus dikembangkan pada diri setiap peserta didik. Skill dasar tersebut meliputi:

  1. The hard skids, yang mencakup dasar-dasar matematik, problem solving, kemampuan membaca yang jauh lebih tinggi dan lebih cepat dibandingkan yang ada sekarang ini pada SMU.
  2. The soft skills, yang meliputi kemampuan bekerja sama dalam kelompok dan kemampuan untuk menyampaikan ide dengan jelas baik dengan lisan maupun tulis.
  3. Kemampuan memahami bahasa komputer yang sederhana, seperti seperti word processor.

B. Pendidikan holistik

Pada hakekatnya pendidikan kita bertujuan untuk menghasilkan manusia yang utuh. Namun, kenyataan dalam praktek dewasa ini tak terhindarkan lagi bahwa tujuan pendidikan hanya menekankan aspek kognitif dengan ditunjukkan oleh sistem Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional yang menghasilkan NEM. Sehubungan dengan itu, basic skills yang diajukan oleh kedua pakar ekonomi di atas justru telah mencakup ketiga aspek: kognitif (the hard skills dan kemampuan memahami bahasa komputer), sosial, dan emosi (the soft skills). Persoalan yang muncul adalah bagaimanakah ketiga aspek tersebut dapat dikembangkan pada diri peserta didik sebagai suatu satu kesatuan yang utuh?

Dunia pendidikan sudah sangat terbiasa dengan pembagian sesuatu ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil, seperti bidang studi dipecah-pecah dalam pokok bahasan, dan sub-pokok bahasan. Administrasi juga dipisah-pisah menjadi bagian-bagian yang kecil-kecil. Pemecahan menjadi berbagai pecahan kecil-kecil ini berdasarkan asumsi bahwa kalau serpihan-serpihan digabungkan akan menjadi satu keutuhan kembali. Namun asumsi ini jauh dari realitas yang berlangsung. Siswa yang memiliki NEM tinggi untuk suatu mata pelajaran tidak berarti siswa telah menguasai pelajaran tersebut secara utuh. Sebab, memang secara substansi gabungan-gabungan dari serpihan-serpihan tidak harus diartikan mesti menjadi satu keutuhan. Demikian pula, asumsi bahwa Guru bimbingan dan konseling ditambah guru agama serta guru PPKN bertugas untuk mengembangkan sosial dan emosi siswa, sedangkan, guru-guru mata pelajaran yang lain, seperti matematika, fisika, ekonomi, bertugas untuk mengembangkan intelektual siswa, sulit untuk terus dipertahankan.

Perkembangan teori baru di bidang perkembangan kognitif, seperti dikemukakan oleh Baxter Magolda (dalam Knowing and Reasoning in College: Gender-Related Patterns in Students' Intellectual Development, 1995) menekankan bahwa ketiga aspek pendidikan tersebut, intelektual, sosial dan emotional harus merupakan satu kesatuan yang terintegrasi. Untuk mencapai integrasi ini peranan konteks sosial dan hubungan antar pribadi sangat penting. Proses yang berlangsung di sekolah harus senantiasa dikaitkan dengan proses yang ada di luar sekolah. Goleman dalam buku 'Emotion intelligence' (Sudah diterjemahkan dan diterbitkan oleh Gramedia, 1995) juga menekankan betapa proses learning sangat ditentukan oleh emosi, yang dapat merangsang motivasi atau sebaliknya malah menekan motivasi unuk berprestasi menjadi rendah.

C. Aspek mikro dalam pendidikan

Dalam kaitan pengembangan diri pribadi yang holistik ini sudah barang tentu proses belajar mengajar yang didominasi oleh ceramah dengan guru sebagai sumber tunggal dan siswa sebagai pendengar yang baik mendapatkan kritikan yang keras. Sebagai alternatif muncullah berbagai ide seperti Teori Pendidikan Pembebasan oleh Fraire, teori Constructivist oleh Brooks dan Brooks, Cultural Perspective oleh Rhoads dan Black, Collaborative Learning oleh Bruffee. Teori-teori pembelajaran baru ini dimaksudkan untuk mengubah proses belajar mengajar yang bersifat monolitik dan steril dari peristiwa-peristiwa yang berlangsung di luar sekolah, sebagaimana yang dipraktekan di dunia sekolah dewasa ini, dengan melibatkan sosial dan emosi dalam proses pembelajaran. Dengan mengubah otoritas pembelajaran dari tangan guru dan lebih menekankan unsur pengalaman pribadi siswa dalam proses pembelajaran, disertai dengan mengkaitkan apa yang dipelajari di sekolah dengan apa yang terjadi di masyarakat sekitarnya, diharapkan pendidikan akan lebih dapat mengembangkan diri siswa secara utuh.

Reformasi pendidikan perlu mempertimbangkan perkembangan teori-teori pembelajaran baru tersebut. Teori Pembebasan Freire menekankan pada prinsip bahwa sistem budaya masyarakat merupakan sumber kekuatan warga masyarakat, bagaikan jaring laba-laba di mana laba-laba hidup. Ia menyatakan bahwa sistem pendidikan harus ditransformasikan lewat praksis, di mana refleksi dan aksi akan secara bergantian mengubah tatanan yang ada. Teori Pembelajaran Constructivist didasarkan pada prinsip bahwa guru harus me nyediakan lingkungan belajar yang memungkinkan siswa mencari makna, menghargai ketidakpastian, dan bertanggung jawab dalam proses "pencarian". Teori ini mengakui bahwa penekanan pada kinerja dan memberikan jawaban yang benar pada soal model pilihan ganda menghasilkkan pemahaman yang minim pada diri siswa, sedangkan fokus proses pembelajaran adalah menimbulkan pada diri siswa pemahaman yang mendalam dan kemampuan mempergunakan konsep dan pengetahuan yang diperoleh sampai di luar ruang-ruang kelas. Teori Constructivist membantu siswa untuk mampu bertanggung jawab atas proses pembelajaran yang dilakukan oleh diri seseorang yang mandiri, mengembangkan pemahaman dan konsep secara terintegrasi, dan mampu mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang penting. Teori Pembelajaran Kultural menekankan kekuatan kultur dan subkultur masyarakat. Teori ini memiliki prinsip bahwa lewat sistem kultural yang ada dewasa ini kondisi pendidikan dapat dianalisis dan diubah untuk dikembangkan menjadi proses pembelajaran yang efektif. Untuk itu pendidikan harus meninjau ulang asumsi dan nilai-nilai mereka sendiri dalam praktek pendidikan. Teori pembelajaran Collaborative menekankan pada proses pembelajaran yang digerakkan oleh keterpaduan aktivitas bersama baik intelektual, sosial dan emosi secara dinamis baik dari fihak siswa maupun guru. Teori ini didasarkan poda ide bahwa pencarian dan pengembangan pengetahuan adalah merupakan proses aktivitas sosial, di mana siswa perlu mempraktekkannya. Pendidikan bukannya proses di mana siswa hanya menjadi penonton dan pendengar yang pasif.

Berdasarkan uraian di atas, maka lembaga pendidikan harus bergeser untuk mengembangkan kultur pembelajaran yang holistik termasuk mengembangkan visi pendidikan yang jelas, konsisten, disertai dengan kepemimpinan yang dapat memberikan arah, memajukan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran, mengembangkan masyarakat pembelajaran, mendorong munculnya iklim belajar di manapun juga, dan secara sadar mengembangkan proses sosialisasi profesional baik di kalangan guru ataupun siswa. Kepemimpinan yang konsisten dan mampu memberikan arah diperlukan sebab budaya masyarakat memang menghendakinya. Prinsip kepemimpinan tersebut memiliki implikasi bahwa kepemimpinan lembaga harus dilihat sebagai suatu keniscayaan, bahwa transformasi pendidikan mencakup seluruh hirarkis kelembagaan. Dengan demikian, transformasi pendidikan diarahkan untuk mengembangkan sejumlah peran kepemimpinan di sekolah, meningkatkan keterlibatan siswa dalam proses belajar mengajar, menciptakan lingkungan yang mendorong siswa untuk ambil peran, mendorong dan menghargai inisiatif siswa, dan memberikan insentif bagi keterlibatan siswa. Tujuan akhir transformasi pendidikan adalah menghasilkan siswa yang utuh: Kematangan intelektual, sosial, dan emosi.

3.8. Reformasi Pendidikan: dari Fondasi ke Aksi

Krisis yang dialami bangsa Indonesia baik ekonomi, politik dan keamanan belum juga dapat di atasi. Berbagai krisis tersebut di atas berdampak negatif terhadap dunia pendidikan dengan memunculkan keseimbangan baru pendidikan. Pada keseimbangan baru ini, pelayanan pendidikan tidak dapat dilaksanakan dengan menggunakan cara seperti biasa (bussines as ussual). Orientasi pelayanan pendidikan dengan menggunakan cara berfikir lama tidak dapat diterapkan dengan begitu saja, dan bahkan mungkin tidak dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan pendidikan pada keseimbangan baru ini. Cara-cara berpikir baru dan terobosan-terobosan baru harus diperkenalkan dan diciptakan untuk mengatasi permasalahan pendidikan pada saat ini dan di masa mendatang. Dengan kata lain, reformasi pendidikan merupakan suatu imperative action.

Reformasi pendidikan adalah proses yang kompleks, berwajah majemuk dan memiliki jalinan tali-temali yang amat interaktif, sehingga reformasi pendidikan memerlukan pengerahan segenap potensi yang ada dan dalam tempo yang panjang. Betapa kompleksnya reformasi pendidikan dapat difahami karena tempo yang diperlukan amat panjang, jauh lebih panjang apabila dibandingkan tempo yang diperlukan untuk melakukan reformasi ekonomi, apalagi dibandingkan tempo yang diperlukan untuk reformasi politik. Seminar reformasi di Jerman Timur yang diselenggarakan sehabis tembok Berlin diruntuhkan mencatat bahwa untuk reformasi politik diperlukan waktu cukup enam bulan. Untuk reformasi ekonomi diperlukan waktu enam tahun, dan untuk reformasi pendidikan diperlukan waktu enam puluh tahun. Sungguhpun demikian, hasil dan produk setiap fase atau periode tertentu dari reformasi pendidikan harus dapat dipertanggung jawabkan. Di samping itu, yang lebih penting adalah reformasi pendidikan harus memberikan peluang (room for manoeuvre) bagi siapapun yang aktif dalam pendidikan untuk mengembangkan langkah-langkah baru yang memungkinkan peningkatan mutu pendidikan.

Reformasi pendidikan pada dasarnya memiliki tujuan agar pendidikan dapat berjalan lebih etektif dan efisien mencapai tujuan pendidikan nasional. Untuk itu dalam reformasi dua hal yang perlu dilakukan: a) mengidentifikasi atas berbagai problem yang menghambat terlaksananya pendidikan, dan, b) merumuskan reformasi yang bersifat strategik dan praktis sehingga dapat diimplementasikan di lapangan. Oleh karena itu, kondisi yang diperlukan dan program aksi yang harus diciptakan merupakan titik sentral yang perlu diperhatikan dalam setiap reformasi pendidikan. Dengan kata lain, reformasi pendidikan harus mendasarkan pada realitas sekolah yang ada, bukan mendasarkan pada etalase atau jargon-jargon pendidikan semata. Reformasi hendaknya didasarkan fakta dan hasil penelitian yang memadai dan valid, sehingga dapat dikembangkan program reformasi yang utuh, jelas dan realistis.

Apa syarat utama yang harus dipenuhi untuk dapat mencapai tujuan reformasi yang memadai? Terdapat tuntutan yang merupakan keharusan untuk dipenuhi agar reformasi dapat berjalan mencapai tujuan. Meskipun demikian, tidak ada senjata pamungkas yang dapat memastikan keberhasilan reformasi. Pendekatan sistemik mengisyaratkan agar dalam reformasi tidak ada faktor yang tertinggal. Reformasi harus menekankan pada faktor kunci yang akan mempengaruhi faktor-faktor lain secara simultan, sehingga reformasi akan melibatkan seluruh faktor 'yang penting, dan menempatkan semua faktor tersebut dalam suatu sistem yang bersifat organik.

Implementasi reformasi pendidikan yang berada di antara kebijakan publik dan kebijakan yang mendasarkan pada mekanisme pasar tersebut, memusatkan pada empat dimensi: Dimensi Kultural-Fondasional, dimensi Politik-Kebijakan, dimensi Teknis-Operasional, dan dimensi Kontekstual.

A. Dimensi fondasional kultural

Dimensi kultural berkaitan dengan nilai, keyakinan dan norma-norma berkaitan dengan pendidikan, seperti apa sekolah itu?, siapa guru itu? Seberapa jauh materi yang harus dipelajari oleh siswa? dan, siapa siswa itu? Siapa yang memiliki kekuasaan untuk mengontrol sekolah? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menentukan gambaran fungsi dan tanggung jawab serta peranan komponen sekolah: kepala sekolah, guru, pegawai administrasi, siswa, bahkan orang tua siswa.

Secara khusus, reformasi pendidikan ditunjukkan oleh perilaku dan peran baru siswa khususnya dalam proses belajar dan mengajar di sekolah. Perubahan pada diri siswa tersebut sebagai hasil adanya perubahan perilaku pada diri guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar khususnya, dan perubahan iklim sekolah pada umumnya.

Perubahan perilaku guru merupakan perubahan pada aspek teknis yang dapat disebabkan oleh aspek politik. Namun, reformasi pendidikan tidak dan lebih dari sekedar dimensi teknis dan politik, melainkan harus meletakkan dimensi kultural dalam proses reformasi. Sayangnya, aspek kultural merupakan sesuatu yang bersifat relatif abstrak sekaligus sulit untuk dikendalikan. Aspek kultural dapat dibangun dan dikembangkan berdasarkan nilai-nilai dan keyakinan yang ada dalam dunia pendidikan itu sendiri. Nilai-nilai dan keyakinan ini merupakan inti dari reformasi pendidikan.

Berkaitan dengan dimensi kultural ini, sekolah harus diperlakukan sebagai suatu institusi yang memiliki otonomi dan kehidupan (organik), bukan sekedar institusi yang merupakan bagian dari suatu sistem yang besar (mekanik). Sebagai suatu sistem organik, sekolah dapat dilihat sebagai tubuh manusia yang memiliki sifat kompleks dan terbuka yang harus didekati dengan sistem thinking. Artinya, dalam pengelolaannya sekolah harus dilihat sebagai suatu kesatuan yang utuh. Perbaikan dalam suatu aspek sekolah harus mempertimbangkan aspek yang lain. Dengan pendekatan sistem thinking tersebut dapat diidentifikasi struktur, umpan balik, dan dampak, seperti: a) keterbatasan perubahan pendidikan, b) pergeseran sasaran reformasi pendidikan, c) perkembangan pendidikan, dan, d) sektor pendidikan yang kurang dijamah.

B. Dimensi politik-kebijakan

Dimensi politik berkaitan dengan otoritas, kekuasaan dan pengaruh, termasuk di dalamnya negosiasi untuk memecahkan konflik-konflik dan isu-isu pendidikan. Aspek politik dari reformasi pendidikan amat kompleks. Reformasi memiliki wajah plural yang satu sama lain saling berinteraksi. Keberhasilan dalam mengendalikan aspek politik ini ditunjukkan dengan adanya berbagai kebijakan tetapi satu kebijakan dengan yang lain saling melengkapi, menuju arah tunggal: meningkatkan kemajuan pendidikan. Juga, ditunjukkan oleh adanya serangkaian kebijakan di mana kebijakan yang kemudian melengkapi kebijakan sebelumnya.

Dimensi politik ini tidak sekedar adanya hak-hak politik warga sekolah, khususnya guru dan kepala sekolah, tetapi memiliki pengertian yang lebih luas. Yakni, penekanan pada adanya kebebasan atau otonomi sekolah, khususnya dalam kaitan dengan masyarakat sekitarnya. Dengan otonomi yang dimiliki sekolah, keberadaan sekolah akan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat sekitararnya. Sekolah tidak terlalu menggantungkan pada birokrasi di atas, tetapi sebaliknya sekolah lebih bertumpu pada kekuatan masyarakat sekitar. Untuk itu, keberadaan Pemimpin Lokal di samping kepemimpinan Kepala Sekolah merupakan kunci dari keberhasilan sekolah.

Pemimpin Lokal, tokoh masyarakat dan Kepala Sekolah harus senantiasa memberdayakan (empowering) guru, antara lain dengan tidak banyak memberikan instruksi atau petunjuk melainkan memberikan tantangan, insentif dan penghargaan dalam melaksanakan misi sekolah. Keberhasilan reformasi pendidikan ditentukan oleh keberhasilan dalam memberdayakan guru. Yakni, guru memiliki otonomi profesional dan kekuasaan untuk menentukan bagaimana visi dan misi sekolah harus diujudkan dalam praktek sehari-hari. Pemberdayaan guru ini akan memungkinkan mereka memadukan apa yang mereka yakini dengan agenda aksi reformasi.

Sekolah yang baik senantiasa memiliki visi dan misi. Visi dan misi sekolah harus difahami oleh semua guru dan merupakan landasan kerja bersama yang diharapkan dapat memberikan kekuatan dalam melaksankan misi di atas Dengan demikian di sekolah akan dapat dibangun suatu iklim kerjasama di antara warga sekolah, khususnya di kalangan guru. Kerjasama di antara guru ini akan memperkuat proses pemberdayaan guru.

Pemberdayaan guru perlu dilakukan pula lewat pemberian kesempatan dan dorongan bagi para guru untuk selalu belajar menambah ilmu. Proses pembelajaran sepanjang waktu bagi guru merupakan keharusan, dan menjadi titik pusat dalam reformasi pendidikan. Proses pembelajaran (learning) terjadi manakala guru memiliki kewenangan dan kesempatan untuk mengembangkan visi mereka sendiri tentang bagaimana perubahan yang diperlukan dalam mewujudkan pendidikan yang lebih baik.

C. Dimensi teknis operasional

Dimensi teknis berkaitan dengan pengetahuan dan kemampuan profesional dan bagaimana keduanya dapat dikuasai oleh pendidik. Dengan kata lain, aspek teknis dipusatkan pada kemauan dan kemampuan guru untuk melakukan reformasi pada dimensi kelas atau melaksanakan proses belajar mengajar sebagaimana dituntut oleh reformasi. Sudah barang tentu hal ini menuntut adanya perubahan perilaku baik siswa, kepala sekolah dan juga di lingkungan kantor pendidikan selaku fihak yang memiliki wewenang untuk. merumuskan kebijakan pendidikan.

Kemampuan guru yang dituntut dalam setiap reformasi pendidikan pada umumnya adalah kemampuan penguasaan materi kurikulum dan kemampuan paedagogik. Orientasi kurikulum harus lebih menitikberatkan pada penguasaan akan konsep-konsep pokok, dan lebih menekankan berbagai hubungan antar konsep-konsep tersebut, serta lebih menekankan pada cara bagaimana peserta didik menguasai konsep dan hubungan untuk dikaitkan dengan realitas kehidupan masyarakat dibandingkan hanya menguasai serpihan-serpihan pengetahuan dan kumpulan fakta.

Di samping kurikulum harus disempurnakan, guru harus memahami dan memiliki motivasi untuk mempergunakan pendekatan dan cara mengajar yang lebih alami, asli dan menarik. Untuk itu perlu dikembangkan tim kerja yang melibatkan guru dan ahli. Misal lewat MGMP seminar, pelatihan dan lewat media cetak dan elektronik. Tujuan dari itu semua adalah meningkakan komunikasi akademik baik di kalangan guru sendiri maupun dengan kalangan luar sekolah. Dengan komunikasi ini diharapkan secara berkesinambungan para guru akan mengembangkan kemampuan dan pengetahuannya sendiri.

D. Dimensi kontekstual

Pendidikan tidak berproses dalam suasana vakum dan tertutup, namun terbuka, senantiasa berinteraksi dengan aspek-aspek lain yang berada di luar pendidikan. Aspek-aspek lain tersebut dapat memiliki dampak positif maupun negatif bagi pendidikan. Aspek-aspek tersebut antara lain: a) kepedulian masyarakat terhadap pendidikan, b) perkembangan media massa, dan c) sistem politik pemerintahan.

Keberhasilan reformasi pendidikan juga ditentukan oleh seberapa besar dukungan masyarakat. Warga masyarakat, khususnya mereka orang tua siswa yang memiliki kelebihan dalam harta dan pendidikan perlu dilibatkan dalam proses reformasi sejak awal. Dukungan masyarakat pada umumnya, dan orang tua siswa khususnya tidak sebatas dukungan finansial, tetapi jauh lebih luas. Termasuk antara lain dukungan orang tua siswa. dalam bentuk partisipasi untuk meningkatkan proses pembelajaran.

Untuk itu, orang tua siswa khususnya dan tokoh-tokoh masyarakat pada umumnya, perlu diajak memahami visi dan misi sekolah, dan mengambil peran dalam melaksanakan misi sekolah sesuai dengan keyakinan dan kemampuan mereka sendiri.

Empat aspek di atas: Kultural-Fondasional, Politik-Kebijakan, Teknis-Operasional dan dimensi kontekstual dapat disilangkan dengan empat fokus: a) kondisi riil masa kini, b) hakekat reformasi atau reformasi yang ingin dicapai, c) penghambat untuk terlaksananya reformasi, dan d) program aksi yang perlu dikembangkan untuk muwujudkan tujuan reformasi, dapat diujudkan dalam matriks analisis reformasi sebagai berikut.

MATRIKS REFORMASI PENDIDIKAN

Kondisi Masa Kini

Esensi Reformasi

Faktor Penghambat

Program Aksi

Aspek Teknis

Pengajaran one way direction dan tidak dapat merangsang peserta didik belajar keras. Daya serap siswa atas kurikulum sangat rendah

Meningkatkan kemampuan dan kreatifitas guru, mengembangkan sistem komunikasi professional di kalangan guru sehingga menjadi “a Learning Teacher”. Mengembangkan kurikulum yang menekankan pada konsep pokok dan keterkaitan di antara konsep tersebut yang terintegrasi ke dalam satuan yang bersifat utuh dan fleksibel. Mengembangkan norma baru tentang peran dan perilaku baru siswa dalam pembelajaran, mengembangkan dan membiasakan sistem kolaborasi dalam proses pembelajaran.

Kualitas dan kemampuan guru kurang siap untuk melaksanakan PBM yang lebih bermakna (kolaborasi, constrctivist). Kurikulum sarat materi. Penguasaan kurikulum oleh guru belum sebagaimana di harapkan.

Siswa terbiasa belajar dengan mendengar, menghafal, dan mengerjakan ujian dengan pilihan ganda.

Resistensi di kalangan guru untuk melaksanakan feformasi.

Meningkatkan sistem In service Training yang lebih komprehensif.

Memperbanyak forum bagi guru untuk meningkatkan kemampuan profesional, seperti seminar, penerbitan majalah/Jurnal Guru secara berkala, sehingga tidak ketinggalan dalam perkembangan ilmu pengetahuan.

Membekali para guru dengan kemapuan penelitian aksi, sehingga guru dapat terus menerus mengevaluasi dan meningkatkan keterampilan mengajar.

Aspek Politis

Manajemen sentralistis birokratis.

Kepala Sekolah terbiasa bergantung keatas.

Inovasi pada dimensi sekolah amat rendah.

Menciptakan sistem persekolahan dimana masing-masing sekolah memiliki otonomi yang luas dalam mencapai tujuan pendidikan nasional.

Mengembangkan kepemimpinan Kepala Sekolah dengan sifat-sifat inovatif.

Mendorong Kepala Sekolah untuk senentiasa berupaya memberdayakan guru.

Menjadikan Fungsi pokok Departemen Pendidikan, Kanwil dan Kandep lebih menekankan sebagai pendukung dan pelayanan kebutuhan sekolah untuk mencapai program nasional.

Tidak adanya konsesus yang jelas dan terbuka berkenaan dengan arah dan tujuan reformasi pendidikan di kalangan luas masyarakat.

Pola kepemimpinanpaternalistik.

Memberikan kewenangan yang luas bagi Kepala Sekolah dalam menjalankan program nasional sesuai sekolah masing-masing. Seperti, merumuskan visi dan missi sekolah, mengelola sumber-sumber, dan menentukan sasaran dan target sekolah.

Aspek Kultur

Kreatifitas dan inisiatif rendah.

Kepemimpinan kepala sekolah gaya komando. Kultur sekolah tidak kondusif untuk mencapai prestasi (sasaran persaingan, kurang kerjasama, tidak terbuka, guru terlalu aktif, siswa kurang disiplin dan belajar keras.

Mengembangkan norma baru tentang peran dan perilaku.

Mengembangkan dan membiasakan sistem kolaborasi dalam proses pembelajaran.

Fokus sekolah terlalu menekankan NEM, dan mengabaikan aspek yang lain.

Mengembangkan sistem insentif dan rewards bagi upaya-upaya inovatif.

Mengembangkan sistem penghargaan atas keberhasilan guru dan siswa yang tidak saja di bidang prestasi intelektual tetapi juga pada bidang-bidang yang lain.

Mengembangkan suasana kebersamaan di samping suasana kompetitif di sekolah.

Aspek Kontekstual

Terpisah dari masyarakatnya.

Dukungan masyarakat rendah.

Faktor negatif lingkungan amat besar (TV, Film, dll)

Mengembangkan iklim hubungan sekolah dan masyarakat yang kuat, sehingga sekolah memiliki basis dan menyatu dengan masyarakat sekitar.

Sebahagian besar siswa berasal dari tempat yang jauh dari sekolah.

Masih besar rasa ketidakpercayaan penggunaan fasilitas sekolah oleh masyarakat sekitar.

Masyarakat tidak melihat sekolah bagian dari mereka.

Memberikan kesempatan seluas-luasnya partisipasi orang tua siswa dan masyarakat sesuai dengan kemampuan mereka.

E. Sekolah mandiri

Reformasi pendidikan memiliki bentuk konkret pada dimensi individu (guru dan siswa), dimensi sekolah, dimensi masyarakat atau makro. SEKOLAH MANDIRI salah satu bentuk konkret dari reformasi pendidikan pada dimensi sekolah. Yakni, suatu kebijakan yang menempatkan pengambilan keputusan pada mereka yang terlibat langsung pada proses pendidikan: Kepala Sekolah, guru, orang tua siswa dan masyarakat. Kebijakan ini akan membawa dampak tidak saja pada manajemen sekolah, tetapi juga pada implementasi kurikulum dan proses belajar mengajar yang dilaksanakan. Sebab, tanpa ada perubahan pada proses belajar mengajar, apapun yang dilaksanakan di sekolah tidak akan banyak artinya. Perubahan tidak akan banyak artinya tanpa melibatkan aparat sekolah secara keseluruhan.

Sekolah mandiri tidak berarti tanpa kendali. Melainkan mandiri dalam konteks sistem-pendidikan nasional. Sekolah memiliki kemandirian dalam melaksanakan rekayasa untuk menjabarkan dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara nasional, tanpa meninggalkan latar belakang dan karakteristik kondisi lokal setempat. Untuk itu sekolah mandiri memiliki kultur, kebiasaan dan cara kerja baru yang berbeda dengan kebiasaan dan tata cara kerja sekolah dewasa ini. Kultur, kebiasaan-kebiasaan dan tata cara kerja baru ini akan mempengaruhi perilaku seluruh komponen sekolah: Kepala Sekolah, guru, pegawai administrasi dan siswa. Bahkan, dalam jangka panjang, kebiasaan dan tata cara kerja baru ini akan berpengaruh di kalangan orang tua siswa dan masyarakat. Kultur, kebiasaan, dan tata cara kerja baru tersebut antara lain: a) setiap sekolah memiliki visi dan misi, b) sekolah memiliki program yang mendasarkan pada data kuantitatif, c) sekolah merupakan sistem organik, d) sekolah memiliki kepemimpinan mandiri, e) sekolah memiliki program pemberdayaan bagi seluruh komponen sekolah, f) sekolah merupakan kegiatan pelayanan jasa dengan tujuan utama memberikan kepuasan maksimal bagi siswa, orang tua siswa dan masyarakat selaku konsumen, dan, g) sekolah mengembangkan "Trust" (Kepercayaan) sebagai landasan interaksi internal maupun eksternal seluruh warga sekotah.

F. Ciri sekolah mandiri

Sekolah Mandiri tidak hanya diartikan dengan membentuk suatu lembaga di sekolah dengan wewenang tertentu seperti anggaran dan kurikulum. Dengan telah dibentuknya lembaga ini belum tentu sekolah sudah memahami tanggung jawab dan peran yang baru dalam mengelola sekolah, dan akan mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan mutu sekolah. Dengan singkat dikatakan, bahwa implementasi Sekolah Mandiri memerlukan suatu bentuk kesadaran baru dalam menjalankan roda organisasi sekolah. Kepala sekolah beserta guru harus memiliki otonomi dan otoritas yang memadai, dan instruksi serta petunjuk dari kantor pendidikan harus dikurangi. Sejalan dengan itu, berbagai sumber daya perlu disebarluaskan sampai pada dimensi sekolah. Seperti, informasi prestasi siswa dan kepuasan orang tua siswa dan masyarakat, serta sumber-sumber yang tersedia perlu disampaikan pada dimensi sekolah sehingga sekolah memiliki pertimbangan yang jelas dalam menentukan kegiatan.

Visi dan misi

Sekolah harus megembangkan visi dan misi sendiri. Visi suatu sekolah merupakan suatu pandangan atau keyakinan bersama seluruh komponen sekolah akan keadaan masa depan yang diinginkan. Keberadaan visi ini akan memberikan inspirasi dan mendorong seluruh warga sekolah untuk bekerja lebih giat. Visi sekolah harus dinyatakan dalam kalimat yang jelas, positif, realistis, menantang, mengundang partisipasi, dan menunjukkan gambaran masa depan.

Misi erat berkaitan dengan visi. Kalau visi merupakan pernyataan tentang gambaran global masa depan, maka misi merupakan pernyataan formal tentang tujuan utama yang akan direalisir. Jadi kalau visi merupakan ide, cita-cita dan gambaran di masa depan yang tidak terlalu jauh, maka misi merupakan upaya untuk konkritisasi visi dalam ujud tujuan dasar yang akan diujudkan.

Visi dan misi sekolah merupakan penjabaran atau spesifikasi visi dan misi pendidikan nasional yang disesuaikan dengan latar belakang dan kondisi lokal. Adalah sangat mungkin latar belakang dan kondisi lokal dari sekelompok sekolah memiliki kemiripan, dan untuk ini dimungkinkan untuk mengembangkan visi dan misi dari beberapa sekolah yang berada dalam suatu cluster sekolah.

Visi dan misi sekolah ini akan terus membayangi segenap warga sekolah: Kepala sekolah, guru, pegawai administrasi, siswa dan orang tua siswa, dengan pertanyaan-pertanyaan: Mengapa kita di sini? Apa yang harus kita perbuat atau kerjakan? Bagaimana kita melaksanakan? Bagi kepala sekolah harus selalu ditantang dengan pertanyaan: Mengapa dan untuk opa saya jadi kepala sekolah? Apa yang harus saya kerjakan sebagai kepala sekolah? Bagaimana saya melakukan pekerjaan tersebut? Pertanyaan akan muncul bagi guru: Mengapa dan untuk apa saya menjadi guru? Apa yang harus saya kerjakan sebagai guru? Bagaimana saya melaksanakan pekerjaan tersebut? Pertayaan-pertanyaan tersebut akan mendorong seluruh warga sekolah, sesuai dengan kapasitas dan fungsi masing-masing bekerja keras berdasarkan misi guna mendekati visi sekolah.

Sekolah sebagai sistem organik

Suatu sekolah merupakan gabungan dari berbagai, baik akademik maupun non-akademik, termasuk bagaimana interaksi guru-siswa formal dalam proses belajar mengajar, interaksi antar guru, interaksi guru dan pegawai administrasi dalam proses mengurus kenaikan pangkat guru, interaksi antara siswa dan staf perpustakaan dalam proses bagaimana tenaga perpustakaan melayani para siswa, interaksi antara guru dan kepala sekolah dalam proses bagaimana kepala sekolah memimpin para guru, dan sebagainya. Interaksi yang begitu banyak terjadi di sekolah tersebut, memberikan signal bagi kita semua, bahwa program kerja sekolah memiliki suatu sistem yang mampu mengkoordinasi dan mensinergikan dari seluruh interaksi yang ada di sekolah.

Inti dari interaksi pendidikan adalah interaksi formal guru-siswa dalam proses belajar mengajar yang merupakan interaksi dari berbagai komponen pendidikan: guru, siswa dan bahan ajar serta peralatan. Dalam istilah yang singkat disebut proses pembelajaran yang berasal dari kata 'learning'. Meskipun interaksi formal dalam proses pembelajaran merupakan interaksi akademik, tetapi interaksi ini tidak bisa diisolir dari interaksi kegiatan yang lain termasuk kegiatan non-akademik, seperti interaksi dalam proses pengurusan kenaikan jenjang jabatan guru, pelayanan perpustakaan, pelaksanaan apel bendera, atau kepemimpinan sekolah. Oleh karena itu, sekolah mandiri merupakan kebutuhan dari seluruh interaksi tersebut.

Sekolah jangan dipandang sebagai suatu jaringan individu tetapi sebagai jaringan interaksi. Setiap interaksi akan menghasilkan kekuatan atau energi yang berpengaruh terhadap sekolah: negatif atau positif. Bentuk-bentuk dan bagaimana kualitas interaksi berlangsung akan menentukan sifat dan besaran energi. Oleh karena itu, sekolah mandiri harus memfokuskan pada interaksi ini di samping memfokuskan pada diri individu warga sekolah. Sudah barang tentu fokus ini tidak dapat dipisahkan secara absolut, melainkan secara simultan. Malahan dapat dikatakan bahwa sekolah harus secara simultan memahami masing-masing individu dengan segala karakteristiknya dan interaksi saling ketergantungan dari berbagai individu tersebut. Kita tidak dapat memisahkan keduanya.

Tuntutan yang penting adalah sekolah perlu mengidentifikasi keberadaan berbagai bentuk interaksi dengan masingmasing karakteristik pokok yang menyertai. Misalnya, sekolah memiliki a) interaksi formal dalam ujud proses belajar mengajar, b) interaksi guru informal, c) interaksi guru formal dalam rapat, d) interaksi siswa dalam kelas, e) interaksi siswa di luar kelas, dan sebagainya. Masing-masing interaksi tersebut masih dapat diperinci. Interaksi belajar mengajar terdiri dari: a) interaksi guru dalam menjelaskan materi, b) interaksi guru dalam mengajukan pertanyaan terhadap siswa, c) interaksi guru dalam menanggapi jawaban siswa, dan sebagainya.

Karakteristik masing-masing interaksi tersebut akan menghasilkan energi yang bersifat positif atau negatif. Bersifat positif apabila hasil interaksi akan menimbulkan seseorang bekerja lebih keras. Sebaliknya, bersifat negatif apabila interaksi akan menyebabkan seseorang menjadi malas, tertekan, dan menurun semangatnya. Dalam kalangan profesi kedokteran, interaksi antar dokter menimbulkan energi positif untuk kemajuan ilmu kedokteran, sebab apabila dokter ketemu dokter mereka bertukar pikiran tentang bagaimana pengalaman mereka berkaitan dengan praktek pengobatan. Demikian juga kalau insinyur ketemu insinyur yang dibicarakan adalah bagaimana teknik pembangunan jalan layang baru yang lebih hemat dan canggih telah diketernukan, sehingga interaksi ini menimbulkan energi yang positif. Tetapi tengoklah, kalau guru berinteraksi dengan guru, jarang mereka membicarakan pengalaman masing-masing dalam interaksi dengan siswa. Kalau interaksi guru dengan guru dapat diubah dan di arahkan dalam interaksi mereka membicarakan pengalaman mereka tentang proses belajar mengajar, maka interaksi ini akan menimbulkan energi yang dahsyat yang akan membawa kemajuan pendidikan. Dalam jangka 2-3 tahun, jika dalam setiap interaksinya guru membiasakan berdiskusi dengan sesama guru, maka dunia pendidikan akan mengalami perubahan besar.

Dalam sekolah mandiri yang memiliki sifat sistem organik, kepala sekolah di samping menaruh perhatian terhadap warga sekolah sebagai individu atau kelompok, ia juga harus memahami dan menaruh perhatian terhadap proses interaksi ini. Energi yang dihasilkan oleh interaksi tersebut harus dicermati dan merupakan sesuatu yang akan diorganisir. Kepala sekolah berperan untuk memfokuskan, mendorong, mengembangkan dan mengorganisir serta mengelola energi tersebut

untuk di arahkan guna kemajuan sekolah. Untuk itu sekolah dan seluruh warganya harus bersifat adaptif.

Dekonsentrasi dan desentralisasi

Sekolah Mandiri merupakan implementasi dari desentralisasi pendidikan. Untuk mendukung pelaksanaannya, pada Sekolah Mandiri perlu dikembangkan Dekonsentrasi pengambilan keputusan yang memerlukan restrukturisasi organisasi pendidikan.

Organisasi pendidikan bersifat sentralistis. Kebijakan pendidikan secara umum dan politis ditetapkan oleh Departemen Pendidikan. Keputusan politis ini harus dijabarkan oleh direktorat jenderal yang relevan. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah bertanggung jawab untuk merumuskan kebijakan pendidikan dasar dan menengah. Kebijakan Dirjen ini akan dioperasionalkan ke dalam kebijakan teknis oleh direktorat yang relevan. Kemudian Kantor Wilayah dan Kantor Daerah Pendidikan dan Kebudayaan akan melakukan koordinasi implementasi kebijakan teknis tersebut.

Implementasi Sekolah Mandiri memerlukan restrukturisasi organisasi dengan menempatkan pembuatan kebijakan teknis pada Kantor Daerah Pendidikan. Organisasi Direktorat dan Kantor Wilayah Pendidikan perlu dihapuskan. Sebab, kebijakan teknis yang diperlukan adalah yang sesuai dengan tuntutan dan kondisi lokal. Dengan demikian Kantor Daerah akan memiliki fungsi mewakili Departemen dalam pengambilan keputusan untuk daerahnya masing-masing.

Reformasi pendidikan merupakan suatu keharusan. Sebab, cara-cara yang selama ini dilaksanakan dalam pengelolaan pendidikan tidak akan dapat memecahkan persoalan-persoalan yang muncul dewasa ini. Krisis moneter dan ekonomi yang diikuti oleh krisis politik, kepercayaan dan keamanan, mempercepat keharusan reformasi pendidikan.

Reformasi pendidikan yang diperlukan bersifat menyeluruh dan mendasar, menyangkut dimensi kultural-fokasional, politik-kebijakan, teknis-operasional, dan, dimensi kontekstual. Tambal sulam dalam dunia pendidikan saat ini harus dihindarkan, sebab hanya akan berakibat menunda datangnya bencana yang lebih parah lagi.

Betapapun Reformasi merupakan suatu keharusan, tetap saja akan muncul resistensi yang menghambat jalannya reformasi. Oleh karena itu, reformasi pendidikan perlu untuk:

1. Mendapatkan dukungan dari kalangan profesional dengan: a) memberikan pelayanan yang lebih baik, b) menciptakan iklim yang kondusif untuk mengembangkan kerjasama profesional, dan c) meningkatkan kesejahteraan mereka.

2. Mengembangkan kesadaran di kalangan profesional dan kesempatan bagi orang tua untuk berpartisipasi dalam kegiatan sekolah sehingga merasa ikut memiliki.

3. Mengurangi beban administrasi atau non-profesional guru dengan lebih menekankan pada aspek teknis profesional.

Di samping itu, selain tambal sulam, reformasi pendidikan juga harus menghindari upaya pencapaian hasil jangka pendek atau semu dengan mengorbankan pencapaian hasil jangka panjang. Hal ini dapat terjadi, misalnya, apabila reformasi hanya menekankan pada aktivitas yang memfokuskan pada perilaku baru guru dalam mengajar, bagaimana guru menguasai materi baru, memahami makna hakiki dari reformasi pendidikan yakni membantu peserta didik mengembangkan peran dirinya yang baru.

Guru dan Masa Depan Pendidikan Indonesia i


Oleh
Stevani Elisabeth

JAKARTA-Tanggal 25 November akan selalu dikenang oleh setiap guru di Indonesia. Pasalnya, pada tanggal itulah diperingatinya Hari Guru Nasional (HGN) dan hari lahirnya Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).
Hari Guru Nasional merupakan manifestasi penghargaan yang tinggi kepada guru Indonesia oleh bangsanya.
Sejarah juga mencatat, guru merupakan salah satu pilar yang kuat dalam mempertahankan serta menjaga negara kesatuan Republik Indonesia dan Pancasila.
Begitu halnya yang terjadi di ketika Jepang digempur oleh sekutu pada perang dunia kedua, Kaisar Hirohito bukan menanyakan berapa banyak tentaranya yang tersisa. Dia justru menanyakan berapa banyak guru yang tersisa. Begitu pula dengan Presiden Vietnam Ho Chi Minh menegaskan “No teacher, no education” (tanpa guru, tidak ada pendidikan). Pernyataan Ho Chi Minh tersebut dijadikan landasan pemerintah dalam membangun Vietnam yang berbasiskan pendidikan dengan guru sebagai intinya.
Sedang, Presiden RI Soekarno pada 21 November 1945 menyatakan bahwa guru bukan penghias alam, tetapi membentuk manusia. Tentunya ungkapan-ungkapan tersebut merupakan upaya untuk memotivasi para guru dalam melaksanakan tugasnya. Ini juga menyiratkan bahwa inti yang paling esensial dalam pendidikan adalah guru selaku pendidikan dan siswa sebagai peserta didik. Keduanya saling berinteraksi dalam situasi pedagogis untuk mencapi tujuan pendidikan
Begitu strategisnya peranan guru dalam kehidupan berbangsa, namun sayang sekali penghargaan kepada guru masih jauh dari yang diharapkan. Ketua Umum Pengurus Besar PGRI Mohamad Surya mengatakan hingga saat ini, baik guru maupun siswa belum memperoleh haknya selaku partisipan pendidikan.
Menurutnya, hal ini tercermin dari kondisi saat ini yang mencakup jumlah guru yang kurang, sehingga harus bekerja melebihi lingkup tugasnya, mutu yang belum sesuai dengan tuntutan, distribusi guru yang kurang merata, kesejahteraan guru yang amat tidak menunjang dan manajemen yang tidak kondusif. “Semua itu merupakan cerminan rendahnya penghargaan terhadap guru dan kurangnya perhatian terhadap kondisi kehidupan guru serta hak asasinya,” ujar Mohamad Surya dalam perbincangan dengan SH, lusa lalu (23/11).
Hak mengajar dan belajar harus mendapatkan proteksi dari pemerintah dan masyarakat melalui UU yang mengatur pendidikan diantaranya UU nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Lebih jauh, dia mengatakan yang harus segera diwujudkan adalah implementasinya pada tatanan operasional dan manajerial, mulai dari tingkat nasional, regional, institusional, sampai tingkat instruksional.
Sementara itu, Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo mengakui bahwa jumlah pendidik dan tenaga kependidikan di Indonesia belum memadai untuk memenuhi perluasan dan pemerataan akses pendidikan, terutama dalam menuntaskan wajib belajar (Wajar) sembilan tahun. “Distribusi guru yang tidak merata karena masih banyak dari mereka yang memilih mengabdikan dirinya di daerah perkotaan,” ujarnya dalam rangkaian peringatan Hari Guru, di Solo (23/12). Pada tahun 2004-2005, kita membutuhkan guru sebanyak 218.838 orang.
Selain itu, bangsa kita juga masih menghadapi masalah kualifikasi dan kompetensi guru yang belum memenuhi standar nasional pendidikan. “Masih banyak guru kita mengajar tidak sesuai dengan bidang keahliannya,” lanjut Bambang Sudibyo.
Untuk meningkatkan kesejahteraan guru, pemerintah pada tahun 2007 akan memberikan tunjangan profesi kepada 20.000 guru seluruh Indonesia dan tunjangan fungsional kepada 1.407.634 guru PNS dan 732.397 guru non-PNS. Adapun untuk tunjangan profesi guru, pemerintah telah mengalokasikan dana sebesar Rp 360 miliar dan untuk tunjangan fungsional sebesar Rp 3,8 triliun. Menurutnya, mereka yang menerima tunjangan tersebut harus memiliki sertifikat dan lulus uji sertifikasi yang diselenggarakan Lembaga Pendidik tenaga Kependidikan (LPTK) yang ditunjuk pemerintah.
Menurutnya, profesi guru dalam UU tentang Guru merupakan profesi yang semartabat dan setingkat dengan dokter, akuntan, apoteker dan psikolog. Dengan demikian, guru pun harus memiliki sertifikat profesi. n

Pendidikan Indonesia Masa Depan
Lalu mengapa dengan segala kelebihan alam yang sebegitu besar, sebegitu besar pula rakyat ini belum merasakan kebesaran negaranya? Negara ini belum mampu keluar dari krisis ekonomi sejak 1998, terlalu lambat dibandingkan Singapura maupun Malaysia yang memang satu rumpun, melayu, tanya kenapa?,mengutip iklan. Kuncinya adalah tidak adanya penyadaran dan kurangnya kepedulian secara merata tentang pentingnya pendidikan bagi semua. Penyadaran pendidikan hanya berkutat bagaimana mendapatkan pekerjaan yang mapan setelahnya, semakin besar kegelaran, maka semakin pula menduduki posisi puncak. Lalu di mana sebuah nilai ilmu pengetahuan? Ekperimen, penemuan, observasi, penelitian dan sejenisnya, harusnya menjadi sesuatu yang harusnya dihargai oleh pemerhati pendidikan. Kelas, buku, sekolah masih menjadi sesuatu yang menakutkan bagi anak bangsa. Pasti ada yang salah disini, peranan semua pihak dan juga pemerintah sebagai pemilik kebijakan, harus ekstra keras mengkaji dan bertindak demi kemajuan pendidikan tentunya.

Lihatlah, apa yang diungkapkan perdana Menteri Malaysia Abdullah Badawi, dalam penyampaian anggaran belanja negaranya, menyinggung langsung masalah sektor informasi dan komunikasi serta multimedia untuk menunjang pendidikan dan menjadi unggulan di masa datang. Pembentukan karakter sumber daya manusia begitu diunggulkan di negara tersebut dan didukung sepenuhnya oleh pemerintahnya, dengan begitu kemajuan pendidikannya akan mengikuti. Di sisi lain, hukum begitu diterapkan oleh siapapun yang bertindak kriminal. Indonesia untuk pendidikan, sebenarnya sudah menganggarkan 20% APBN untuk pendidikan, tapi rasanya belum mampu menyelesaikan permasalahan pendidikan yang secara nasional. Tapipun sudah ada beberapa tempat yang sudah mampu menggratiskan peserta didiknya, semisal Jembrana, Bali.

Untuk menyelesaikan persoalan pendidikan, perlu juga kita mengetahui konsep pendidikan itu sendiri, yaitu konsep dengan arti yang luas. Ia merupakan keseluruhan proses seseorang mengembangkan kemampuan, sikap dan berbagai bentuk perilaku lain yang mempunyai nilai positif terhadap lingkungan tempat hidupnya. Apabila proses itu sengaja dikelola agar dapat terbentuk perilaku tertentu dalam kondisi tertentu maka proses itu disebut pembelajaran/instruksional. ( Association for Educational Communication and Technology/AECT, 1986). Tiga point penting yang bisa diambil dari konsep tersebut untuk melukis harapan pendidikan masa depan, yaitu pengembangan diri, peranan sumber belajar dan juga maksimalisasi media.

Berikut merupakan sedikit analisa yang coba dikembangkan penulis dalam mengelola rangkaian harapan tersebut:

Pertama, terkait dengan pengembangan diri peserta didik secara utuh. Peserta didik adalah manusia yang harusnya menjadi manusia bukannya alat, subyek pendidikan bukan lagi objek. Nilai yang melekat berupa kognitif, afektif, dan psikomotorik sudah semestinya terkembangkan pada manusia, yang juga makhluk terberdaya. Manusia sebagai peserta didik merupakan makhluk yang unik, maka pendekatannyapun akan berbeda dengan makhluk lainnya. Pola pembelajaran sudah harus diarahkan pada sesuatu yang menyenangkan, bahkan sebaiknya pada tataran tingkat eksperimen. Peserta didik idealnya menjadi manusia yang bebas dari rasa kekhawatiran kesalahan bertindak, berucap, dan juga berani melakukan sesuatu yang memang bermanfaat bagi dirinya maupun lingkungannya. Oleh karena itu desain instruksional yang dibuat diarahkan pada pendekatan yang berpola isomeritik ( penggabungan segala kajian ilmu), sistemis, sistematis, berdaya lipat. Program akselerasi pembelajaran perlu sekali dikembangkan secara serius pada masa-masa mendatang, tentunya untuk mendapatkan SDM unggul secara cepat. Pengembangan diri juga bisa diberikan dengan penanaman nilai-nilai positif pendidikan, pentingnya belajar sepanjang masa, belajar dimanapun dan kapanpun tanpa harus terikat dengan lingkungan kelas semata. Seperti layaknya perkataan Confucius, pendidik terbesar di Tiongkok, dua ribu lima ratus yang lalu berkata, ?Di usia 15 tahun pikiran saya sudah condong kepada pembelajaran. Ketika usia saya 30 tahun, saya capai hasil-hasil yang tak seberapa. Baru di usia 40 tahun lah keraguan saya hilang. Di usia 50 saya dapatkan pemahaman tentang operasi dan transformasi waktu dan ruang. Di usia 60 pengetahuan bisa ke luar masuk kepala saya tanpa hambatan. Di usia 70 akhirnya saya capai suatu kondisi di mana pikiran dan tubuh saya benar-benar sejalan, ketika apa yang saya lakukan secara spontan tidak melanggar aturan, dan saya tidak berbuat salah?.

Tak pelak lagi, sesungguhnya yang diharapkan adalah perubahan dalam kualitas pendidikan, dimulai dari pengembangan diri, sehingga terjadi perubahan paradigma pendidikan. Pertama, tidak lagi berorientasi pada pengetahuan melainkan pengembangan ke segala arah yang seimbang. Kedua, dari pembelajaran bersama, yang disentralisasikan menjadi pembelajaran yang diindividuasikan, yang didesentralisasikan. Ketiga, dari pembelajaran yang terbatas pada tahap pendidikan menjadi pembelajaran seumur hidup.

Rangkaian kedua adalah berperannya sumber belajar. Meretas harapan terhadap pendidikan di Indonesia memerlukan energi yang maksimal. Hal ini didasari dari kondisi Indonesia yang masih masuk kategori negara berkembang. Menuju ke arah kemajuan sebuah negara, mau tidak mau melihat pada kemajuan pendidikannya. Satu bagian yang tidak lepas dari proses pembelajaran adalah sumber belajar. Pada pendidikan tradisional, guru merupakan segala sumber ilmu pengetahuan, sungguh lain dengan pendidikan masa depan. Guru hanya sekedar penyambung ilmu pengetahuan, bukan lagi segalanya sumber. Segala sarana, informasi, media, atau apapun yang berguna, sedianya mampu dijadikan sumber untuk pembelajaran. Peranan teknologi informasi, harus bisa dimanfaatkan pada masa mendatang.

Proses pembelajaran dengan usia yang disesuaikan, semestinya memanfaatkan “e-net” atau “e-learning” dalam belajar. Pertemuan antara guru dan siswa tidak lagi sesering saat ini, siswa harus memanfaatkan waktunya buat aktivitas positif yang lain. Di satu sisipun, harusnya pemerintah mempermudah para pelajar dalam memanfaatkan internet. Pada masa ini program CAI (Computer Asisten Instruction) sudah semakin lazim digunakan diberbagai tempat pembelajaran. Semakin dikenalkan pada dunia komputer, maka pemahaman peserta didik akan semakin meningkat. PSB sebagai sarana dunia sekolah, pada masa ini sangat berfungsi sebagaimana peranannya. Siswa sangat mengoptimalkan kemampuannya di tempat sumber belajar ini. Semoga saja ini tercapai secara merata di Indonesiaku.

Ketiga, termaksimalisasikannya media pembelajaran. Istilah media yang merupakan bentuk jamak dari medium secara harfiah berarti perantara atau pengantar. AECT mengartikan media sebagai bentuk dan saluran untuk proses transmisi informasi. Sedangkan Olson (1974) mendefinisikan medium sebagai teknologi untuk menyajikan, merekam, membagi, dan mendefinisikan simbol dengan melalui rangsangan indra tertentu, disertai penstrukturan informasi. Media yang dimaksud harusnya memberikan rangsangan terhadap otak, mengatasi keterbatasan pengalaman, melampaui batas ruang kelas, memungkinkan interaksi langsung antara peserta didik dan lingkungannya, membangkitkan keinginan dan minat baru, membangkitkan motivasi dan merangsang untuk belajar. Menurut Haney dan Ullmer ada tiga kategori utama berbagai bentuk media pembelajaran. Pertama, media penyaji yaitu mampu menyajikan informasi, diantaranya grafis, bahan cetak, gambar diam, audio, televisi, multimedia. Kedua, media objek yaitu yang mengandung informasi, diantaranya replica, model, maupun benda tiruan. Ketiga, media yang memungkinkan untuk interaktif, disebut juga media interaktif. Dalam hal ini setidaknya ada tiga macam interaksi yang dapat diidentifikasikan, yaitu : berinteraksi dengan program, berinteraksi dengan mesin, dan berinteraksi antarsiswa secara teratur tetapi tidak terprogram.

Sekolah Masa Depan Dalam Visi Bill Gates

Bayangkan sebuah sekolah dimana murid-muridnya menggunakan koneksi internet high-speed dan kurikulum pelajarannya dibuat berdasarkan dari sumber-sumber online seperti Wikipedia. Lalu bayangkan semua sekolah didunia menggunakan sistem seperti itu. Hal itu adalah visi pendidikan dari seorang chaiman Microsoft, Bill Gates.

Gates mengungkapkan visinya tersebut dalam Forum Pemimpin Dunia (Government Leaders Forum), konferensi tahunan yang disponsori Microsoft dan dihadiri oleh para pemimpin dunia di Eropa. Konferensi tersebut membahas isu – isu pendidikan dan bagaimana Eropa bisa mejadi lebih kompetitif dengan menggunakan Tekhnologi Informasi.

Gordon Brown, Mentri Keuangan UK, pada pidato sebelumnya memberikan sebuah peringatan. Jumlah lapangan pekerjaan dinegaranya yang tidak membutuhkan keahlian khusus akan menurun dari 3.4 juta menjadi hanya 600,000 pada tahun 2020. Pekerja yang tidak meningkatkan pengetahuannya atau mempunyai keahlian IT beresiko kehilangan pekerjaan mereka selama sepuluh tahun kedepan.

Untuk itu Gates dan Microsoft mendukung beberapa program pendidikan yang bertujuan mengintegrasikan tekhnologi kedalam ruang belajar siswa. Program Innovative Schools milik Microsoft juga akan dikembangkan ke 12 negara tambahan : UK, Perancis, Jerman, Qatar, Kanada, Mexico, Brazil, Chili, dan Hong Kong.

Sejauh ini program sekolah masa depan Microsoft sudah diterapkan di Philladelphia, Taipei (SMA Zhong Lun ), dan sedang dalam tahap perencanaan di UK. Semuanya terfokus dalam penggunaan tekhnologi untuk meningkatkan performa murid – muridnya (baik secara kepintaran maupun mental).

Pendidikan Investasi Masa Depan

"Tuntutlah ilmu sampai negeri Cina". Bukan hanya ucapan legendaris dari seorang Nabi Muhammad SAW, namun mengandung makna mendalam untuk dijadikan filosofi dalam mempersiapkan kematangan investasi bagi masa depan suatu bangsa.
Tak bisa dipungkiri investasi dalam sumber daya manusia merupakan faktor kunci untuk menampilkan jati diri dalam persaingan global. Singapore dan Jepang merupakan contoh negara yang berhasil memanfaatkan SDMnya untuk bisa menjadikan negara tersebut leaders dalam berbagai bidang.
Memang investasi pendidikan tidak akan terlihat sedini mungkin hasil yang terlihat. Tahapan dan proses waktu dengan rentang yang cukup panjang merupakan jawaban yang pasti, namun hasil yang didapatkan dalam jangka panjang jauh lebih dahsyat di Bandingkan investasi lainnya.
Kegagalan kita dalam membangun dalam lima puluh tahun terakhir ini, terletak dlaam lemahnya mempersiapkan SDM nya. Kita hanya terfokus pada pembangunan infrastruktur, yang memang terlihat membanggakan, namun dalam hitungan bulan investasi tersebut ambruk. Titik baliknya justru kita mengalami kemunduran, sungguh tragedis bangsa ini.

Menatap Masa Depan

Minggu ini merupakan kencah pertarungan siswa SLTA mengarungi debutnya mengakihiri masa pendidikan menengahnya. Ebtanas merupakan final yang ditunggu selama tiga tahun masa tempuh normal di negara kita. Bagaimana mempersiapkan mereka mengarungi pendidikan tinggi adalah keharusan yang seyokjanya kita Support untuk bisa menjadikan anak bangsa menjadi manusia yang cerdas, beriman dan bertaqwa.
Sumbawa tak kekurangan SDM nya. Justru yang menjadi kendala adalah kurangya perhatian kita untuk mempersiapkan SDM tersebut untuk menyongsong masa depan yang kompotititf tersebut. Kelemahan tersebut terletak pada

1. Kurangnya perhatian pemerintah Sumbawa untuk mengalokasikan APBD dalam investasi pendidikan
2. Minimnya infrastruktur pembantu untuk mendukung kegiatan siswa seperti, buku-buku, laboratorium dll.
3. Masih kurangnya pemgembangan wawasan staf pengajar
4. Kurangnya perhatian LSM atau NGO's di Sumbawa untuk memfokuskan secara mikro dalam pengembangan investasi pendidikan ; seperti upaya menghimpun donatour untuk dana beasiswa
5. Minimnya lembaga pendidikan informal ; seperti Bimbingan Belajar dan kursus singkat.
6. Kurangnya kerjasama instansi pemerintah dan Swasta terkait di Sumbawa untuk bisa menjalin kerjasama dengan instasi pemerintah/swasta di luar Sumbawa : seperti dengan perguruan tinggi, lembaga riset, organisasi tau samawa di rantau atau lembaga tehnis lainnya.


Titik balik dari investasi Pendidikan dan kaderisasi SDM Sumbawa setidaknya sudah ada politicalwil dari Pemda Sumbawa, namun konstribusi terbesar justru dititik beratkan pada pengembangan SDM pemda Sumbawa secara intern. Contoh kongkret yang telah dilakukan tiga tahun terakhir yaitu, pengiriman tugas belajar para pegawai pemda dan Istansi dari Sumbawa ke Pulau Jawa.
Kembali pada niat awal untuk mengembangkan SDM Sumbawa yang sedang menuntut ilmu dalam tataran pendidikan menengah, sangatlah penting mengingat ambang batas kompetisi global yang memerlukan manusia yang adaptif terhadap perkembangan baru sangat dibutuhkan.
Perlu perencanaan yang matang untuk mempersiapkan SDM Sumbawa untuk bisa berbicara ditanah kelahirannya.
Tak bisa di pungkiri keberadaan pertambangan Batu Hijau merupakan cambuk bagi kita betapa minimnya SDM yang Profesional untuk bisa dikonstribusikan dalam mining area tersebut. Mingkin hal ini akan juga terulang dalam bidang lainnya. Kebingunan orang tua siswa adalah gambaran wajar bila keraguan untuk memilih jurusan yang prosfek bagi anaknya adalah tanda tanya. Hal ini timbul dikarenakan kurangnya informasi bagi orang tua tersebut mengenai pendidikan tinggi diluar Sumbawa.


Bandung sebagai investasi Pendidikan

Letak ditataran Sunda, dengan iklim yang sejuk adalah gambaran sekilas tentang keberadaan "Paris Van Java". Pemda Sumbawa setidaknya tidak asing lagi dengan Pendidikan di Kota Bandung. Ini dikarenakan Lulusan Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri ( STPDN) dan Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi - Lembaga Adminstrasi Negara ( STIA-LAN) terletak di Bandung. Bagaimana keberadaan institusi pendidikan diluar struktur pemerintahan juga memperlihat kemajuan yang sangat berarti bagi bangsa ini. Kita tidak asing lagi dengan pendidikan tinggi Negeri seperti Institute Tekhnologi Bandung ( ITB ), Universitas Padjajaran ( Unpad ), Universitas Pendidiikan Indonesia ( UPI ) dulu IKIP, IAIN Sunan Kalijaga, National Hotel Indonesia ( NHI), Polethnik ITB, Politeknik Mekanik Swiss, Diklat PT. POS Indonesia.
Sedangkan pendidikan tinggi swasta seperti : Unpar, Unisba, Uninus, Maranatha, Unwim, Unjani, STT Telkom dan Masih banyak lagi. Lembaga pendidikan pendukung seperti Bimbel merupakan ladang yang subur bagi siswa yang berkeinginan menambah dan mendalami materi pelajaraannya.
Selama ini terdapat kelemahan untuk bisa mengkomunikasi dan bekerjasama dengan pihak terkait di Sumbawa, dalam investasi pendidikan. Ini dikarenakan Bandung sama sekali belum mempunyai asrama pelajar dan mahasiswa yang bisa dijadikan centre informasi. Selama ini jalur yang ditempuh oleh orang tua siswa hanya mengandalkan orang yang dikenal di Bandung untuk bisa memberikan informasi bagi orang tua bersangkutan.
Landasan pacu Bandung sebagai investasi pendidikan adalah refleksi dari keberhasilan alumninya untuk membuktikan kualitasnya baik ditingkat, lokal, nasional, maupun internasional. Dari Bung Karno, BJ. Habibie atapun Birokrat, teknokrat, Politikus, Pengusaha telah menoreh history akan keberadaan mereka sebagai output dari Kota Bandung.
Iklim yang kondusif sebagai kota pendidikan menjadikan magnet bagi putera-putera daerah dari Sumatera, Sulawesi, Kalimantan tak tertinggal juga dari pulau Jawa ini menjadikan Bandung semarak dengan kegiatan kampus. Faktor ekternal diluar kampus dengan kegiatan keagamaan merupakan ciri khas tersendiri yang memberikan nuansa islami dalam pergaulan generasi mudanya.
Biaya Hidup di kota Bandung relatif terjangkau. Justru saat ini masih jauh lebih tinggi biaya hidup di Kab. Sumbawa di Bandingkan di Bandung. Tidak Percaya….? Silakan datang !

Bandung, 24 Mei 2000
Arif Hidayat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar